Minggu, 20 November 2011

ingtlah hari akhirat Oleh Kurnia AkBar

Misteri Ya’juj dan Ma’juj

Diantara tanda-tanda kiamat besar adalah keluarnya Ya’juj dan Ma’juj. Para ulama berbeda pendapat tentang nasab mereka. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Adam.

Al Hafizh Ibnu Hajar lebih memilih pendapat yang mengatakan bahwa mereka adalah dua kabilah dari keturunan Yafits bin Nuh, yang keduanya adalah keturunan dari Adam dan Hawa. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Abu Said al Khudriy bahwa Nabi saw bersabda,”’Wahai Adam.’ Adam berkata,”Labbaik wa sa’daik dan kebaikan ada pada-Mu.’ Allah berfirman,”Keluarkanlah ba’sannnar.” Adam bertanya,”Apa itu ba’tsannar?” Allah berfirman,”Dari setiap 1000 orang ia ada 999 orang maka pada saat itu anak kecil akan beruban, seorang yang hamil akan meletakkan kandungannya dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal Sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.” (QS. Al Hajj : 2).’ Para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah manakah diantara kami yang satu itu (1000 – 999) ?” beliau saw menjawab,”Bergembiralah kalian, sesungguhnya seorang dari kalian sama dengan 1000 orang dari Ya’juj dan Ma’juj.” Kemudian beliau saw bersabda,”Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, aku berharap kalian menempati seperempat penduduk surga.” Maka kami pun bertakbir. Lalu beliau saw bersabda,”Aku berharap kalian menempati sepertiga penduduk surga.” Maka kami pun bertakbir. Lalu beliau saw bersabda,”Aku berharap kalian menempati separuh penduduk surga.” Maka kami pun bertakbir. Lalu beliau bersabda,”Tidaklah kalian diantara manusia kecuali bagai sehelai bulu hitam dibadan seekor sapi putih atau bagai sehelai bulu putih dibadan seekor sapi hitam.”

Didalam fatwa al Lajnah Ad Daiimah Lil Buhuts wa al Ifta disebutkan bahwa ya’juj dan ma’juj ini berada di benua Asia, sebelah utara Cina.

Amin Muhammad Jamaludin didalam kitabnya “Umur Umat Islam” mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Yaftits bin Nuh. Karena Nuh mempunyai tiga orang anak, yaitu Ham, yang menjadi nenek moyang orang Habsyi (Afrika). Anak kedua bernama Sam, yang menjadi nenek moyang bangsa Arab, Persia dan Romawi. Sedangkan anak ketiga bernama Yafits yang menjadi nenek moyang bangsa Turki.

Karenanya Ya’juj dan Ma’juj adalah turunan paman-paman dari Turki (yaitu bangsa-bangsa Cina, Rusia, Mongolia. Bermuka lebar, bermata sipit (kecil), berambut pirang (hitam keputih-putihan atau keruh seperti awan), seakan-akan wajah mereka adalah seperti meja yang bundar. Ciri-ciri mereka yang seperti itu telah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari Abu Harmalah dari bibinya.

Dimana mereka sekarang ?

Allah swt berfirman :

حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا ﴿٩٣﴾
قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَن تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا ﴿٩٤﴾
قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا ﴿٩٥﴾

Artinya : “Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: “Hai Dzulqarnain, Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, Maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?” Dzulkarnain berkata: “Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, Maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.” (QS. Al Kahfi : 93 – 95)

Jadi Ya’juj dan Ma’juj terkurung dibelakang dinding yang dibangun oleh Dzulqornain untuk mereka dikarenakan mereka banyak melakukan kerusakan dan kejahatan di muka bumi.
Dinding penghalang itu tebal, teguh dan tinggi menjulang yang terbuat dari besi dan tembaga yang dicampur, sehingga mereka tidak dapat melubanginya karena saking tebalnya dan tidak pula dapat memanjatnya karena saking tinggi dan licinnya. Dinding tersebut dibangun antara dua pembatas yang besar yaitu dua gunung yang besar.

Lalu dimanakah letak dinding ini? Ibnu Abbas, tinta umat dan ahli tafsir Al Qur’an mengatakan bahwa ia (dinding itu) terletak di persimpangan negeri Turki dengan Rusia, berdekatan dengan pegunungan kaukasus.” Pegunungan Kaukasus tingginya berkisar antara 1000 sampai dengan 3000 meter)

Walaupun demikian, lebih baik bagi kita untuk mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang akan dapat atau mampu mencapai tempat mereka, sebagaimana halnya siapa pun tidak akan dapat mencapai tempat dajjal (baca : Misteri al Jassasah di Hadits Dajjal) yang sampai sekarang masih terkurung apalagi mengeluarkannya. Karena keluarnya mereka semua adalah sebuah ‘masalah takdir” yang mempunyai waktu yang sudah maklum dan ditentukan didalam Lauh Mahfuzh.

Firman Allah swt :

قَالَ هَذَا رَحْمَةٌ مِّن رَّبِّي فَإِذَا جَاء وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاء وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا

Artinya : “Dzulqarnain berkata: “Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, Maka apabila sudah datang janji Tuhanku, dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar”. (QS. Al Kahfi : 98)

Wallahu A’lam

Sejarah Mandailing

Sejarah Mandailing

SuratTulak-Tulak.

Masyarakat Mandailing memiliki aksara etnisnya sendiri yang dinamakan Surat Tulak-Tulak (bukan aksara Batak). Zaman sejarah ditandai oleh penggunaan aksara. Zaman sebelum adanya penggunaan sejarah dinamakan zaman pra-sejarah. Kita belum mengetahui sejak kapan masyarakat Mandailing menggunakan aksara Surat Tulak-Tulak dalam kehidupan.

Oleh karena itu, kita dengan sendirinya pula tidak mengetahui sejak kapan Masyarakat Mandailing memasuki zaman sejarahnya. Yang kita ketahui, meskipun masyarakat Mandailing memiliki aksara etnnis ini, tapi boleh dikatakan aksara tersebut pada masa lalu tidak dipergunakan untuk mencatat atau menulis sejarah. Kalaupun aksara etnis tersebut dipergunakan buat menuliskan hal-hal yang berhubungan dengan masa lalu, ia hanya dipergunakan buat menuliskan Tarombo.

Selain itu lebih banyak dipergunakan buat mencatat ilmu pengobatan tradisional dan ilmu peramalan. Oleh karena itu hingga sekarang tidak ditemukan catatan sejarah Mandailing yang dituliskan dengan surat Tulak-Tulak. Hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu Mandailing boleh dikatakan hanya terekam sebagai "Sejarah Lisan" berupa kisah-kisah Mandailing pada masa lalu yang kadang-kadang dituturkan oleh orang-orang yang masih mengingatnya dan sama sekali tidak dituliskan meskipun masyarakat Mandailing mempunyai aksara etnisnya sendiri.

Peninggalan Zaman Pra Sejarah

Meskipun tidak melalui penelitian arkeologis dapat kita ketahui bahwa diberbagai tempat di Mandailing terdapat berbagai peninggalan zaman pra-sejarah. Sebagai contoh, ditengah hutan yang tidak jauh letaknya dari desa Runding di sebarang sungai Batang Gadis, terdapat penginggalan zaman pra-sejarah berupa lumpang-lumpang batu berukuran besar. Karena lumpang-lumpang batu tersebut berasal dari masa megalithicum (masa kebudayaan batu besar di zaman pra-sejarah) .

Kita tidak tahu buat pasti buat apa lumpang-lumpang batu yang besar itu dipergunakan orang. Tapi dengan adanya peninggalan tersebut diperoleh bukti bahwa pada zaman pra-sejarah ditempat sekitar desa Runding sudah terdapat penduduk. Selain itu, di dalam suatu gua yang terletak tidak jauh dari desa Pastap, Muara Mais, pernah juga ditemukan kapak genggam yang terbuat dari batu (Sumatera Lith), keadaannya masih sangat kasar.

Hal ini menunjukkan bahwa kapak genggam tersebut berasal dari zaman batu tua (Palaeolithicum) yang juga merupakan zaman pra-sejarah. Ditempat lain yaitu Padang Mardia dekat Hutasiantar, Panyabungan, terdapat pula satu tugu yang dinamakan Menhir. Menhir juga merupakan peninggalan zaman pra-sejarah yaitu zaman megalithicum.

Adanya peninggalan- peninggalan zaman pra-sejarah ini membuktikan bahwa di kawasan Mandailing Godang sudah terdapat penduduk sejak zaman pra sejarah. Meraka hidup pada zaman Megalithicum dan di Mandailing Julu di sekitar gua dekat Pastap juga sudah terdapat penduduk pada zman pra sejarah yaitu pada zaman batu tua (Palaeolithicum) . Pernah pula orang menceritakan bahwa dahulu dibeberapa tempat di Mandailing Julu seperti di desa Hutapungkut orang pernah menemukan beberapa perhiasan yang terbuat dari timah dan perunggu pada waktu melakukan penggalian kuburan.

Semua bukti-bukti yang dituliskan di atas menunjukkan bahwa penduduk sudah terdapat di kawasan Mandailng Godang dan Mandailing Julu sejak zaman pra-sejarah (zaman batu tua) sampai pada zaman logam. Denga kata lain, sejak ribuan tahun yang lalu penduduk sudah terdapat di wilayah Mandailing. Apakah mereka itu merupakan leluhur orang Mandailing atau bukan, belum bisa dipastikan. Yang dapat dipastikan berdasarkan bukti-bukti yang ada ialah sejak ribuan tahun yang lalu wilayah yang bernama Mandailing yang subur dan banyak mengandung emas.

Emas

Kita tahu bahwa bangsa Hindu menyebut pulau Sumatera: Swarna Dwipa (Pulau Emas) yang menjadi tujuan bangsa orang Hindu dari India pada waktu mereka berusaha mencari emas. Di pulau Sumatera wilayah Mandailing (yang pada masa dahulu termasuk di dalamnya kawasan Pasaman) kaya dengan emas. Mandailing pada jaman dahulu dinamakan Tano Omas Sigumorsing.

Banyaknya emas di Mandailing dapat dibuktikan bahwa pada jaman Belanda di Mandailing Julu terdapat tambang emas kepunyaan Belanda yang dinamakan Tombang Ubi. Tambang emas tersebut merupakan tambang emas Belanda yang ke dua di Indonesia . Yang pertama tambang emas Belanda adalah di Pasaman yang bernama tambang Manggani. Dengan bukti yang demikian ini, cukup logis dan masuk akal kalau dikatakan orang Hindu pada awal abad Masehi mulai datang ke Mandailing buat mencari emas.

Peninggalan Hindu yang tertua di Sumatera terdapat di desa Simangambat dekat Panyabungan berupa Candi Ciwa. Menurut pakar arkeologi berkebangsaan Jerman, Schnitger candi tersebut berasal dari abad 8. Selain itu, di Pidoli Lombang, Panyabungan terdapat kawasan yang bernama Saba Biara, di tempat itu terdapat banyak bekas Candi. Di Padang Mardia, Panyabungan terdapat Lingga dan Yoni yang merupakan lambang kesuburan bagi orang Hindu.

Masih banyak terdapat di Mandailing peninggalan Hindu dan Budha yang selama ini diabaikan. Ada dugaan, orang Hindu yang datang ke Mandailing banyak yang berasal dari kerajaan Kalingga di India Timur. Oleh sebab itulah mereka disebut orang Holing. Mereka berpusat di Mandailing sebelum tersebar ke tempat-tempat lain di Sumatera. Dalam bahan Sansekerta wilayah yang dijadikan sebagai pusat sesuatu, misalnya pusat pemukiman dinamakan Mandala. Jadi pusat orang Hindu atau orang Holing di Sumatera dinamakan Mandala Holing. Lama kelamaan nama ini barubah menjadi Mandailing. Demikianlah suatu hipotesis mengenai asal nama Mandailing.

Sumber : (Tabloid Sinondang Mandaling, Edisi Agustus 2007

ETNOGRAFI MANDAILING

Suku-bangsa Mandailing bermukim di pedalaman pesisir pantai barat Pulau Sumatera. Menurut cerita-cerita rakyat yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat, asal-usul nama Mandailing berasal dari kata Mande Hilang (dalam bahasa Minangkabau) yang artinya “ibu yang hilang”. Versi lain mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari kata Mandala Holing, adalah satu kerajaan yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-12. Cakupan wilayah kerajaan Mandala Holing diperkirakan terbentang dari Portibi di Padang lawas hingga ke Pidoli di dekat Panyabungan, Mandailing Godang. Berkaitan dengan hal ini, orang-orang Mandailing juga sering menyebut kata holing yang bagi mereka mungkin memiliki arti yang cukup penting, seperti tertuang dalam ungkapan berikut ini :

… muda tartiop opat na
ni paspas naraco holing
ni ungkap buntil ni adat
ni suat dokdok ni hasalaan
ni dabu utang dohot baris …

Ungkapan tersebut di atas kurang lebih berarti, bahwa untuk mengadili seseorang harus didasarkan kepada empat syarat. Apabila ke empat syarat itu telah terpenuhi barulah naraco holing (suatu lambang pertimbangan yang seadil-adilnya) dibersihkan, selanjutnya dilihat ketentuan adat, diukur beratnya kesalahan, dan setelah itu barulah hukuman dapat dijatuhkan. Selain itu, kata holing juga terdapat dalam ungkapan surat tumbaga holing na so ra sasa, yang secara harafiah artinya “surat tumbaga holing yang tidak mau hapus”. Maksudnya ialah bahwa ketentuan adat-istiadat tersebut akan tetap menjadi panutan hidup orang Mandailing selamalamanya.

Terminologi Mandailing mengandung dua macam pengertian yang tidak sama, akan tetapi keduanya saling mengikat dan tidak terpisahkan, yaitu pengertian budaya dan territorial. Dalam pengertian “budaya”, Mandailing adalah salah satu kelompok etnik atau suku-bangsa. Karena menurut Koentjaraningrat, “suku-bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ‘kesatuan kebudayaan’, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa”.[1] Sedangkan dalam pengertian “territorial”, Mandailing adalah salah satu wilayah tertentu yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara.[2] Wilayah Mandailing memiliki batas-batas tertentu dan mayoritas penduduknya adalah suku-bangsa Mandailing. Sejalan dengan perkembangan zaman sekarang ini, wilayah Mandailing hanya meliputi lima wilayah kecamatan, yaitu Panyabungan, Batang Natal, Siabu, Kotanopan dan Muarasipongi.

Secara tradisional orang Mandailing membagi wilayahnya menjadi dua bagian utama, yaitu Mandailing Godang meliputi kecamatan Panyabungan, Batang Natal dan Siabu, dan Mandailing Julu meliputi kecamatan Kotanopan dan Muarasipongi. Meskipun terdapat pembagian wilayah Mandailing secara tradisional menjadi dua bagian, akan tetapi orang Mandailing yang bermukim di Mandailing Godang dan Mandailing Julu boleh dikatakan masih tetap memiliki adat-istiadat yang sama. Pada masa sebelum Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, wilayah Mandailing Godang berada di bawah kekuasaan raja-raja yang bermarga Nasution, sedangkan wilayah Mandailing Julu dikuasai oleh raja-raja yang bermarga Lubis.

Wilayah Mandailing sekarang berbatas dengan Kecamatan Angkola di sebelah utara yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Simarongit di Desa Sihepeng. Sedangkan perbatasannya dengan wilayah Padang Bolak berada di suatu tempat bernama Rudang Sinabur. Di sebelah barat Mandailing terletak wilayah Natal yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Lingga Bayu. Sebelah selatan wilayah Mandailing berbatas dengan Kabupaten Pasaman yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Ranjo Batu. Namun batas wilayah Mandailing dengan wilayah sebelah timur tidak diketahui karena jarang disebut-sebut orang.

Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa sesungguhnya sangat sulit untuk mendapatkan sejarah masa silam suku-bangsa Mandailing. Dalam hal ini, Pangaduan Lubis ada menjelaskan, bahwa walaupun suku-bangsa Mandailing memiliki aksara tradisional yang disebut surat tulak-tulak dan biasa digunakan untuk menulis kitabkitabkuno yang disebut pustaha, namun pada umumnya  pustaha itu tidaklah berisi catatan sejarah melainkan tentang pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan tentang mimpi. Semua pustaha itu disimpan orang Mandailing sebagai warisan leluhur.[3]

Salah satu sumber sejarah kuno yang menyebut-nyebut nama Mandailing adalah kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu  Prapanca untuk mencatatkan ekspansi kerajaan Majapahit ke beberapa wilayah di luar Pulau Jawa. Di dalam Pupuh ke XIII kitab itu tercatat bahwa ekspansi Majapahit sampai ke tanah Mandailing sekitar tahun 1287 Saka atau 1365 Masehi. Pada syair ke XIII Kakawin tersebut tercatat[4] :

Lwir ning pranusa sakahawat ksoni ri Malaya
Ning Jambi mwang Palembang karitang i Teba len Dharmacraya tumut
Kandis Kahwat Manangkabwa ri Siyak i Rekan Kampar mwang i Pane
Kampe Harw athawe Mandahiling i Tumihang Parlak mwang i Barat

Selain itu, ada catatan tentang silsilah keturunan yang disebut tarombo yang barangkali merupakan satu-satunya sumber sejarah asal-usul orang Mandailing di masa lalu. Pada umumnya orang Mandailing mengelompokkan diri mereka ke dalam beberapa marga (klan) dan masing-masing marga selalu menempatkan diri mereka sebagai keturunan dari seorang tokoh nenek moyang yang berlainan asal. Tokoh leluhur suatu marga biasanya bersifat legendaris, dan senantiasa mereka tempatkan diawal silsilah keturunan (tarombo) mereka. Dengan adanya tarombo ini, setiap marga di Mandailing dapat mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai sekarang. Istilah marga dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang berasal dari keturunan seorang nenek moyang yang sama dan garis keturunan diperhitungkan melalui pihak lakilaki atau ayah (patrilineal).

Marga Lubis dan Nasution mempunyai jumlah warga yang terbesar di antara marga-marga lain di Mandailing. Marga Lubis memiliki satu kakek bersama bernama Na Mora Pande Bosi, yang menurut kisahnya adalah cucu dari seorang nakhoda kapal laut bernama Angin Bugis dari Pulau Sulu. Sedangkan satu kakek bersama dari marga Nasution bernama Si Baroar. Menurut legendanya, Si Baroar semasa bayi ditemukan oleh Sutan Pulungan, adalah seorang Raja dari Huta Bargot di Mandailing Godang. Cerita dalam versi lain menyebutkan bahwa marga Nasution pertama adalah putra dari Raja Iskandar Muda dari Pagaruyung, yang di masa lalu adalah pusat kerajaan Minangkabau. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa setiap marga biasanya mempunyai ompu parsadaan (nenek moyang) yang sama. Akan tetapi ada juga beberapa marga yang berlainan nama marganya yang mempunyai ompu parsadaan yang sama. Seperi marga Rangkuti dan Parinduri nenek moyangnya adalah Mangaraja Sutan Pane dan marga Pulungan, Lubis dan Harahap nenek moyangnya adalah Namora Pande Bosi. Sedangkan marga Matondang, Daulae dan Batubara memiliki nenek moyang dua orang yang bersaudara kandung (kakak beradik), yaitu Parmato Sopiak menurunkan marga Matondang dan Daulae, dan Bitcu Raya menurunkan marga Batubara. Adapun nama-nama marga orang Mandailing adalah: Hasibuan, Dalimunte, Mardia, Pulungan, Lubis, Nasution, Rangkuti, Parinduri, Daulae, Matondang, Batubara, Tanjung dan Lintang.

Reruntuhan candi di sekitar Desa Simangambat di Kecamatan Siabu merupakan sisa-sisa peninggalan sejarah kuno Mandailing. Candi tua itu mungkin termasuk sisa-sisa bangunan tertua di Sumatera Utara karena diperkirakan berasal dari abad ke 8 dan 9 Masehi, dimana bentuk dan ornamennya menyerupai candi gaya Jawa Tengah asli. Di samping itu, ada pula suatu tempat di sekitar Desa Pidoli yang dinamakan Saba Biara (biara=vihara). Biara-biara ini pada masa sekarang hanya tinggal pondasinya saja yang tertimbun di dalam areal persawahan penduduk. Sementara itu di lereng gunung Sorik Marapi di Desa Maga dahulu terdapat beberapa buah “pilar batu” yang bertuliskan aksara Jawa Kuno bertanggal 9-9-1242.[5]

Di areal pemakaman kuno yang disebut lobu atau huta lobu dapat ditemukan patung batu yang disebut tagor. Menurut kepercayaan lama, tagor tersebut dapat memberi suatu pertanda dengan suara gemuruh apabila terjadi sesuatu hal penting dalam keluarga raja, misalnya seandainya ada seorang raja yang akan wafat. Selain itu, di empat sudut huta (wilayah perkampungan kerajaan disebut juga banua) biasanya terdapat patung kuno bernama pangulu balang, yang di masa lalu dipercayai mampu menjaga kesatuan wilayah huta dan akan memberikan pertanda apabila ada sesuatu yang akan mengganggu komunitas huta.

Wilayah Mandailing Godang dikelilingi oleh gunung-gunung. Di tengah-tengah kawalan dari beberapa gunung itu terhampar dataran rendah yang cukup luas dan berhawa panas. Sungai yang bernama Aek Batang Gadis yang hulunya berada di Mandailing Julu melintasi wilayah Mandailing mulai dari bagian selatan dan menyusuri bagian baratnya menuju ke arah utara. Oleh karena air sungai ini dahulu sering terhalang alirannya menuju muaranya bernama Singkuang di Samudera Indonesia, maka keadaan itu menimbulkan daerah rawa-rawa di dataran rendah yang dikitari gunung-gunung tersebut. Penduduk Mandailing Godang kemudian mengolahnya menjadi areal persawahan yang cukup luas dan subur, sehingga daerah ini menjadi lumbung padi di Mandailing.

Selain menghasilkan padi, daerah ini juga banyak menghasilkan buah kelapa karena penduduknya memanfaatkan tanah pekarangan rumah yang cukup luas dan lingkungan sekitarnya dengan menanam pohon kelapa. Sedangkan di kaki-kaki gunung dan tanah-tanah yang tidak dipergunakan untuk lahan persawahan ditanami penduduknya dengan pohon karet. Beberapa kilometer ke arah utara, di sepanjang aliran Aek Batang Gadis banyak ditemukan pohon pisang dan umbiumbian milik warga Huta Bargot, Saba Jior dan Jambur-Padang Matinggi.

Kota kecil Panyabungan sejak dahulu dianggap sebagai suatu tempat yang cukup penting. Kota kecil ini berada di tengah-tengah dataran rendah yang subur itu, sehingga menarik minat penduduk desa lain untuk pindah ke Mandailing Godang demi mencari penghidupan yang lebih baik sebagai petani atau pedagang. Seperti kepindahan orang-orang bermarga Lubis yang mendirikan suatu tempat pemukiman baru bernama Huta Lubis sekitar setengah kilometer dari kota kecil Panyabungan. Hingga kini kota kecil Panyabungan terdiri atas tiga bagian utama, yaitu Panyabungan Julu di bagian hulu, Panyabungan Tonga-tonga di bagian tengah, dan Panyabungan Jae di bagian hilir. Pembagian wilayah kota kecil Panyabungan yang demikian itu disesuaikan dengan arah mengalirnya sebuah sungai bernama Aek Mata yang melintang ke arah Panyabungan, dari timur ke barat dan bermuara ke Aek Batang Gadis. Dalam hubungan ini, orang Mandailing memiliki kebiasaan untuk membagi dan menamai bagian-bagian dari huta mereka menurut arah aliran sungai yang terdapat di dekat daerah pemukiman mereka.

Panyabungan Tonga-tonga adalah bagian terpenting di Mandailing Godang karena kelompok marga Nasution mempercayai, bahwa leluhur mereka Si Baroar pertama kali bermukim di tempat tersebut. Setelah dinobatkan penduduk menjadi raja, Si Baroar diberi gelar Sutan Diaru. Sampai saat ini masih terdapat bagas godang (istana raja) dan sopo godang (balai sidang adat) di Panyabungan Tonga-tonga. Dari Panyabungan Tonga-tonga inilah kemudian keturunan Si Baroar menyebar menjadi raja-raja di beberapa huta di kawasan Mandailing Godang, antara lain: Panyabungan Julu, Panyabungan Jae, Huta Siantar, Maga, dan lain-lain.

Berbeda dengan wilayah Mandailing Godang, meskipun wilayah Mandailing Julu alamnya berhawa sejuk, namun kawasan ini diapit oleh gunung-gunung yang sebagian mencapai ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, sehingga penduduknya hanya dapat mengolah lahan persawahan di kaki-kaki gunung dan di bagian tepi sepanjang Aek Batang Gadis dan Aek Pungkut. Keterbatasan lahan persawahan tersebut menyebabkan penduduk hanya dapat membuat petak-petak sawah yang kecil dan bertangga-tangga. Meskipun para petani bekerja keras dalam mengerjakan lahan sawahnya, namun karena arealnya sempit sehingga tidak dapat memberikan hasil panen yang mencukupi untuk makanan setahun.

Wilayah Mandailing Julu yang berhawa sejuk ternyata sangat ideal untuk tanaman kopi yang diperkenalkan kolonial Belanda[6] pada abad ke-19 melalui sistem tanam paksa di masa lalu, terutama di daerah Pakantan dan Huta Godang (Ulu Pungkut). Sejak saat itulah, sebelum Perang Dunia Kedua, kopi yang berasal dari tanah Mandailing diekspor ke Amerika dan Eropah, sehingga kopi dari luat (wilayah) Mandailing ini lama-kelamaan menjadi cukup terkenal di dunia internasional dengan sebutan “Mandailing Coffee”. Selain itu, penduduk juga memanfaatkan lereng-lereng gunung untuk ditanami pohon karet, cengkeh dan kayu manis. Sementara pohon enau yang banyak tumbuh secara alami di daerah ini mereka sadap niranya untuk dijadikan gulo bargot (gula aren) yang cukup terkenal di Sumatera Utara. Dari hasil-hasil tanaman keras inilah penduduk Mandailing Julu memperoleh penghasilan tambahan untuk kemudian dibelikan beras dan kebutuhan hidup lainnya.

Di Mandailing Julu banyak ditemukan bekas-bekas penambangan emas yang ditinggalkan orang Agam (Minangkabau), seperti di sekitar Huta Godang ada suatu tempat yang dinamakan garabak ni agom. Dan orang Belanda pun pernah membuka tambang emas di dekat kota kecil Muarasipongi. Di samping itu, Aek Batang Gadis yang hulunya terletak di Gunung Kulabu di dekat Pakantan itu melintasi wilayah Mandailing mulai dari selatan hingga utara dan bermuara di Singkuang di pantai barat mengandung bijih-bijih emas pula. Pada waktu-waktu tertentu di Aek Batang Gadis sampai sekarang banyak penduduk yang manggore (mendulang emas) sebagai mata pencaharian tambahan terutama pada masa pacekelik, yaitu sewaktu harga kopi, kayu manis, cengkeh dan karet turun di pasaran. Oleh sebab itulah, tano rura Mandailing juga dikenal dengan sebutan tano sere.

Kotanopan adalah sebuah kota kecil di Mandailing Julu yang memiliki arti penting bagi kelompok marga Lubis. Sebab menurut kepercayaan mereka, di sekitar tempat itulah dahulu putra kembar Na Mora Pande Bosi, yaitu Silangkitang dan Si Baitang untuk pertama kalinya membuka tempat pemukiman. Hal itu dilakukan sesuai dengan pesan ayah mereka Na Mora Pande Bosi, bahwa apabila dalam pengembaraan ke wilayah Mandailing Julu mereka menemukan suatu tempat dimana terdapat dua buah sungai yang muaranya bertentangan, maka ditempat itulah mereka harus membuka perkampungan baru. Lokasi ini kemudian dikenal dengan nama Muara Patontang, yaitu tempat pertemuan muara Aek Singengu dari arah barat dan Aek Singangir dari arah timur yang saling berhadapan lalu keduanya bermuara ke Aek Batang Gadis.

Selanjutnya Muara Patontang mereka namakan Huta Panopaan, yang kemudian menjadi Hutanopan, yang lama kelamaan menjadi Kotanopan. Dari sinilah Si Langkitang pergi menuju suatu tempat yang dinamakan Singengu, dan kemudian dari Singengu inilah keturunanya menyebar dan menjadi raja-raja bermarga Lubis di beberapa desa seperti Simpang Tolang, Sayurmaincat, Tambangan dan sebagainya. Sementara itu saudaranya Si Baitang melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Dikemudian hari keturunannya juga menyebar dan menjadi raja-raja bermarga Lubis di beberapa desa seperti Tamiang, Huta Dangka, Huta Pungkut, Huta Godang, Pakantan dan lain-lain.


HUTA atau BANUA

Wilayah pemukiman orang Mandailing disebut Luat atau Banua. Sedangkan kehidupan sosial-budaya orang Mandailing berlangsung di dalam suatu huta yang memiliki satu kesatuan wilayah dengan batasbatas tertentu. Setiap huta berada dibawah sistem pemerintahan sendiri yang demokratis dan bersifat otonom yang dipimpin oleh seorang raja. Oleh karena yang memimpin pemerintahan adalah seorang raja, maka huta atau banua tersebut dapat disebut harajaon (“kerajaan kecil”) sesuai dengan cakupan wilayahnya yang umumnya tidak begitu luas. Menurut tradisi, yang diangkat menjadi raja hanyalah kaum laki-laki saja, dan adanya sejumlah huta di Mandailing disebabkan oleh kepindahan orang-orang Mandailing dari huta asal ke tempat-tempat lain untuk mendirikan atau membuka tempat pemukiman baru (disebut mamungka huta). Biasanya sekelompok orang yang akan mencari tempat pemukiman baru tersebut terdiri dari kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru.

Suatu tempat pemukiman baru tidak bisa langsung menjadi sebuah huta, karena di samping luas daerahnya yang masih relatif sempit, juga jumlah penduduknya pun masih sedikit dan tempat pemukiman baru ini disebut banjar. Daerah pemukiman baru yang memiliki wilayah yang lebih luas dari banjar dinamakan pagaran. Dalam prosesnya, biasanya banjar lama-kelamaan dapat menjadi pagaran apabila warga dan luas wilayahnya bertambah. Sedangkan pagaran yang semakin tumbuh berkembang akan menjadi lumban. Tapi adakalanya banjar dapat langsung menjadi lumban apabila terjadi suatu perkembangan penduduk dan wilayah yang begitu pesat. Jadi dalam keadaan normal, sejalan dengan perkembangan jumlah warga dan luas wilayahnya, tempat pemukiman terkecil yang berstatus banjar lama-kelamaan menjadi pagaran, kemudian berubah status menjadi lumban, dan terakhir menjadi huta. Sampai sekarang masih terdapat beberapa desa di Mandailing yang memiliki nama-nama tempat pemukiman penduduk yang demikian itu seperti: Banjar Pining, Banjar Sibaguri, Pagaran Tonga, Pagaran Sigatal, Lumban Pasir, Huta Dangka, Huta Pungkut, Huta Godang, Huta Siantar, dan Huta Bargot. Dahulu, semasa tempat pemukiman itu masih berstatus sebagai banjar, pagaran ataupun lumban tidak diperbolehkan memiliki raja dan wilayahnya sendiri yang otonom. Dengan demikian ia masih bergantung kepada huta atau banua asal karena dianggap belum mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Untuk itu mereka dipimpin oleh seseorang yang dinamai Raja Ihutan yang tidak berfungsi sebagai kepala pemerintahan.[7] 


SISTEM MATA PENCAHARIAN HIDUP

Mata Pencaharian utama penduduk Mandailing adalah bertani dengan mengolah sawah. Areal persawahan yang cukup luas terdapat di Mandailing Godang. Sedangkan di Mandailing Julu, karena areal persawahan sempit, maka penduduk memanfaatkan lereng-lereng gunung untuk ditanami tanaman keras.

Boleh dikatakan bahwa kehidupan sosial orang Mandailing erat kaitannya dengan masalah kepemilikan lahan persawahan. Menurut Pangaduan Lubis, bahwa meskipun sempit atau pun keadaannya kurang subur, pemilikan sebidang lahan persawahan amat penting artinya bagi orang Mandailing untuk mendukung martabat dan statusnya di tengah-tengah masyarakat. Satu keluarga yang tidak memiliki sebidang tanah di suatu desa biasanya dianggap sebagai orang penumpang di desanya, sehingga keluarga tersebut akan merasa dirinya bukanlah bagian yang integral dari komunitas desanya. Sebab keaslian dan keutuhan ikatannya sebagai anggota masyarakat desanya ditandai oleh adanya kepemilikan lahan persawahan yang diwarisi secara turun-temurun.[8]

Di masa-masa lalu orang Mandailing senantiasa bergotong-royong untuk mengolah sawah, misalnya dalam mengerjakan tanah dan menanam padi secara bersama-sama disebut marsialap ari, dan kegiatan bersama-sama untuk memanen padi disebut manyaraya. Akan tetapi kegiatan gotong-royong yang demikian itu pada masa sekarang ini sudah sangat jarang mereka lakukan. Kegiatan mengolah sawah hanya dilakukan oleh anggota keluarga batih yang sudah mampu bekerja di sawah.

Suatu wadah berbentuk rumah kecil bertingkat dua yang disebut opuk atau sopo eme di setiap desa digunakan untuk menyimpan padi yang sudah selesai diirik. Bagian atasnya yang beratap ijuk (serabut pohon enau) dan berdinding gogat (bambu yang dipecah) digunakan untuk menyimpan padi, sedangkan bagian bawahnya yang hanya berlantai bambu atau kayu (papan) tanpa dinding biasanya digunakan sebagai tempat duduk-duduk untuk beristirahat. Biasanya setiap keluarga batih memiliki sebuah opuk. Namun ada juga gabungan dari beberapa keluarga batih memiliki opuk bersama sebagai cadangan bahan makanan yang dapat dipinjamkan kepada keluarga yang membutuhkannya terutama di musim pacekelik yang disebut aleon.

Sekitar dua puluh tahun lalu, petani sawah di Mandailing masih bertanam padi sekali dalam setahun. Seraya menunggu masa tanam berikutnya, areal sawah yang sudah dipanen padinya itu dibersihkan lalu ditanami dengan tanaman muda (palawija) seperti kacang tanah dan jagung. Namun semenjak mereka memakai bibit padi jenis unggul, bertanam padi dilakukan dua kali dalam setahun, sehingga kegiatan bertanam palawija mulai jarang dilakukan. Dalam kegiatan bercocok tanam padi di sawah dipergunakan berbagai macam peralatan yang terbuat dari logam (besi), antara lain: cangkul, tajak, sasabi, dan goluk. Sedangkan untuk marhauma (bercocok tanam palawija atau padi di ladang) dipergunakan sebuah alat berupa sepotong kayu yang diruncingkan yang disebut ordang. Dapat ditambahkan bahwa dari dahulu sampai sekarang petani sawah diMandailing umumnya masih memakai sistem irigasi tradisional yang disebut bondar saba, yaitu suatu sistem distribusi (tali) air yang kontruksinya masih sangat sederhana untuk dapat mengairi areal sawah-sawah mereka. Di setiap huta biasanya terdapat sebidang lahan persawahan milik raja yang disebut saba bolak (sawah yang luas). Begitupun bukan berarti bahwa saba bolak milik raja itu lebih luas daripada areal sawah milik penduduk huta. Menurut Pangaduan Lubis, penamaan saba bolak untuk sawah milik raja adalah sebagai suatu penghormatan yang menunjukkan bahwa raja memiliki kelebihan dari alak na jaji (orang kebanyakan). Memang sudah seharusnyalah raja memperoleh hasil panen yang lebih banyak karena raja mengemban fungsi sebagai inganan marsali, yaitu sebagai tempat peminjaman padi bagi warga huta terutama di masa-masa pacekelik. Selain itu, raja juga memiliki areal sawah tertentu yang disebut saba olet yang hasil panennya secara khusus dipergunakan untuk menjamu tamu-tamu raja yang datang berkunjung ke Bagas Godang atau setiap orang yang meminta makan kepada Raja. Adanya kewajiban raja yang demikian itu karena raja adalah talaga na so hiang (tempat persediaan makanan yang tidak pernah habis) bagi orang Mandailing. Di masa lalu, beternak juga termasuk sumber mata pencaharian tambahan bagi penduduk huta. Terutama beternak manuk (ayam), itik (bebek), ambeng (kambing), lombu (sapi) dan orbo (kerbau). Ternak kerbau banyak diperlukan sebagai hewan sembelihan (disebut longit) pada berbagai upacara adat dan ritual. Di beberapa huta, raja memiliki padang pengembalaan kerbau sendiri yang disebut jalangan. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa kegiatan beternak kambing dan kerbau sekarang ini sudah mulai berkurang.

Kolam ikan yang disebut tobat banyak ditemukan di setiap huta, baik itu di samping rumah maupun di tempat-tempat lainnya sebagai milik pribadi. Ada pula kolam ikan yang cukup luas milik raja yang dinamakan tobat bolak, yang pada waktu-waktu tertentu ikannya diambil oleh penduduk huta setempat secara bersama-sama. Kegiatan bersama untuk mengambil ikan dari tobat milik raja yang dinamakan mambungkas tobat bolak ini biasanya dilakukan setahun sekali. Dapat dikatakan bahwa kegiatan mambungkas tobat bolak ini merupakan sumbangsih raja kepada rakyatnya dan juga suatu bentuk hiburan yang dapat menggembirakan rakyatnya.


SISTEM SOSIAL DALIAN NA TOLU

Sistem kekerabatan orang Mandailing adalah patrilineal, dan hubungan kekerabatannya dapat ditinjau berdasarkan pertalian darah dan perkawinan yang terpola. Dalam hal ini, orang Mandailing mengelompokkan diri menjadi tiga kelompok kekerabatan yang menjadi tumpuan dasar bagi berbagai aktivitas sosial-budaya mereka.

Menurut adat-istiadat, ketiga kelompok kekerabatan tersebut masing-masing berkedudukan sebagai mora, yaitu pemberi anak gadis, anak boru, adalah penerima anak gadis, dan kahanggi adalah kelompok kerabat satu marga, yang ketiganya terikat satu sama lain berdasarkan hubungan fungsional dalam satu sistem sosial yang dinamakan Dalian Na Tolu (“tumpuan yang tiga”). Dengan menggunakan sistem sosial Dalian Na Tolu itulah orang Mandailing mengatur dan melaksanakan berbagai aktivitas sosial-budayanya serta membentuk suatu persekutuan hukum (adattrechts gemeenschap) yang nama aslinya Janjian.[9]

Selain tiga kelompok kekerabatan di atas, orang Mandailing juga mengenal kelompok kekerabatan lain sebagai kelompok kekerabatan tambahan yang sebenarnya berasal dari tiga kelompok kekerabatan inti, yaitu mora ni mora dan pisang raut. Mora ni mora adalah kelompok mora daripada mora, dan pisang raut (adakalanya juga disebut kijang jorat) adalah anak boru daripada anak boru. Selain itu ada pula kelompok kekerabatan yang disebut kahanggi pareban, yaitu kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga batih yang berlainan marga namun sama-sama merupakan anak boru dari satu keluarga yang bermarga tertentu.[10]

Berdasarkan pertalian darah terdapat kelompok kerabat yang dinamakan saompu parsadaan (satu kakek bersama), saompu (satu kakek), sabagas (serumah), saudon (seperiuk) dan saama-saina (seayah-sibu). Kelompok kerabat yang disebut saompu adalah kumpulan orang-orang semarga yang merupakan cucu dari beberapa orang kakek yang bersaudara kandung (kakak beradik); sabagas adalah kumpulan sejumlah anak semarga yang bersaudara kandung; saudon adalah kumpulan orang-orang semarga yang merupakan cucu dari seorang kakek; dan saama-saina adalah kumpulan sejumlah anak dari pasangan ayah dan ibu kandung, yang di dalamnya tidak termasuk anak tiri dan anak angkat.

Menurut Pangaduan Lubis, olong (kasih sayang) adalah nilai budaya Mandailing tertinggi dan paling abstrak yang merupakan landasan bagi hubungan fungsional di antara ketiga kelompok kekerabatan tersebut, yang lahir karena pertalian darah dan hubungan perkawinan sebagai inti kehidupan ketiga kelompok kekerabatan itu. Sehingga secara filosofis orang Mandailing yang masing-masing terintegrasi ke dalam kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru yang terikat hubungan fungsional tersebut senantiasa menempatkan diri mereka sebagai orang-orang yang sahancit sahasonangan dan sasiluluton sasiriaon (sakit dan senang dirasakan bersama). Sebagai konsekuensi dari pandangan filosofis yang demikian itu adalah bahwa orang Mandailing menjadi sahata saoloan satumtum sapartahian (seia sekata menyatu dalam mufakat untuk sepakat) dan mate mangolu sapartahian (hidup dan mati dalam mufakat untuk sepakat).[11]

Lebih jauh Pangaduan Lubis menjelaskan, bahwa sejalan dengan terciptanya suatu sistem sosial yang ideal berupa “jaringan besar”, maka orang Mandailing secara filosofis-simbolik memolakan dirinya seperti sebuah “jala” berbentuk segi tiga sama sisi. Setiap sudutnya merupakan posisi penting dalam mengatur hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan. Oleh karena itu pada sudut puncaknya ditempatkan kelompok kekerabatan mora, dan pada dua sudut lainnya ditempatkan pula kelompok kekerabatan kahanggi dan anak boru. Posisi ketiganya bisa saja beralih sewaktu-waktu akibat terjadinya praktek perkawinan, dan hubungan perkawinan pulalah yang menciptakan sisi-sisi yang terentang menautkan ketiganya sehingga terbentuk pola dasar kehidupan sosial-budaya orang Mandailing berupa segi-tiga besar. Di dalamnya secara fungsional terintegrasi sejumlah besar segi tiga-segi tiga kelompok kekerabatan yang kecil-kecil mengikuti pola dasar yang menjadi acuannya. Sebagai suatu totalitas, segi tiga besar itu bersama segi tiga-segi tiga kecil yang menjadi isinya menjelma menjadi sistem Dalian Na Tolu.

Sebagaimana halnya dengan sebuah “jala”, seluruh tali-temali jaringannya dipersatukan oleh satu tali pegangan yang mengikat dari sudut puncaknya. Menurut filsafat orang Mandailing, “tali pegangan” itulah olong yang menyatukan setiap kelompok kekerabatan maupun anggota masyarakat Mandailing dalam satu sistem sosial yaitu Dalian Na Tolu, yang secara filosofis-simbolik dapat digambarkan seperti sebuah jala.

Selain kelompok kekerabatan yang telah dikemukakan di atas, ada pula jenis pengelompokan lain, yaitu apa yang lazim disebut koum-sisolkot. Istilah koum-sisolkot ini terbentuk dari dua kata, yaitu koum dan sisolkot, yang masing-masing mengandung makna klasifikatoris dalam konteks sistem kekerabatan. Koum merupakan istilah kekerabatan yang dirujuk berdasarkan hubungan perkawinan, sedangkan sisolkot dirujuk berdasarkan pertalian darah. Oleh sebab itu orang-orang yang semarga (disebut markahanggi) lazim pula disebut dengan istilah marsisolkot. Sementara pengertian koum meliputi anggota yang lebih banyak dan cakupannya lebih luas karena di dalamnya terintegrasi kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru, tetangga dekat dan lain sebagainya. Dengan memperhatikan istilah koum-sisolkot ini yang didahului kata koum dan bukan sebaliknya, barangkali hal ini bukanlah terjadi secara kebetulan dan tanpa makna tertentu yang terkandung di dalamnya. Jika diasumsikan bahwa “bahasa menentukan corak kebudayaan”, maka ada kemungkinan bahwa istilah koum-sisolkot ini merupakan reflekasi dari corak kebudayaan atau paling tidak ada terdapat nilai budaya di dalamnya yang berakar dari adat-istiadat orang Mandailing, sehingga dapat diasumsikan bahwa “orang Mandailing dalam banyak hal tidak lebih mengutamakan sisolkot-nya dalam kehidupannya, tetapi lebih mendahulukan koum yang secara sosialpsikologis dan territorial lebih dekat dengannya”.[12]

  
ADAT PERGAULAN KEKERABATAN

Interaksi sosial-budaya dalam kehidupan masyarakat Mandailing dilandasi oleh adat-istuadat. Dalam satu keluarga batih misalnya, hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya yang masih kecil boleh dikatakan berlangsung cukup akrab penuh kasihsayang. Akan tetapi hubungan seorang ayah baik dengan anak perempuannya yang sudah berstatus sebagai bujing-bujing sangat terbatas karena dibatasi oleh norma-norma adat. Sang ayah senantiasa membatasi diri untuk berdialog dengan anak perempuannya yang telah dewasa tersebut, demikian pula sebaliknya si anak gadis merasa sungkan dan malu untuk memperbincangkan berbagai hal dengan ayahnya. Keadaan ini membuat seorang anak perempuan yang telah dewasa merasa lebih dekat dan akrab dengan ibunya. Demikian pula halnya dengan seorang anak laki-laki yang telah dewasa juga membatasi hubungannya dengan ibunya. Oleh sebab itulah anak-anak mereka yang telah dewasa tersebut tidak tidur bersama-sama dengan orang tua di rumah, melainkan di rumah atau tempat tertentu. Para anak gadis tidur bersama kawan-kawan sebayanya di sebuah rumah yang disebut bagas podoman, sedangkan para pemuda tidur bersama kawan-kawannya di sopo podoman.

Sementara itu, interaksi sosial antara seorang pemuda dengan saudara perempuannya yang sudah dewasa (bujing-bujing) tidak boleh terbuka dan akrab. Di masa lalu, pantang bagi seorang pemuda untuk berlama-lama di dalam rumahnya manakala saudara perempuannya (disebut iboto) tersebut juga berada di dalam rumah. Lebih luas lagi, hal yang demikian itu berlaku bagi pemuda dan anak gadis yang semarga yang disebut mariboto. Dalam sistem kekerabatan Dalian Na Tolu, interaksi social antara mora dan anak boru berlandaskan hak dan kewajiban masing-masing terhadap satu sama lain. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba na urang siorus na lobi (si penambah yang kurang si pengurang yang lebih). Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai na manorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang menonjol ke depan), yang maksudnya pihak anak boru ini sudah semestinya membela kepentingan dan kemuliaan pihak mora, atau dengan kata lain pihak anak boru harus sangap marmora (menghormati dan memuliakan pihak mora). Di samping itu, anak boru juga diibaratkan sebagai si tastas nambur (penghalau embun pagi pada semak belukar), yang artinya pihak anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak mora.

Semua itu mesti dilaksanakan pihak anak boru karena ia berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat pihak mora). Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi pihak anak boru) agar pihak anak boru senantiasa manjuljulkon morana.

Terhadap kahanggi (saudara semarga), setiap orang biasanya selalu berusaha bersikap hati-hati. Sebab kahanggi sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai persoalan hidup seperti perkawinan, kematian dan mencari nafkah terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi. Untuk hal ini, para orang tua senantiasa memberi nasihat untuk manta-manat markahanggi (bersikap hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang semarga. Orang-orang semarga yang disebut markahanggi ini diharapkan selalu dapat bekerjasama dalam menghadapi berbagai macam tantangan kehidupan, seperti yang tersurat dan tersirat dalam ende-ende berikut ini :

songon siala sampagul                                           seperti buah siala yang menyatu
rap tu incat rap tu toru                                           sama-sama ke atas dan ke bawah
muda malamun saulak lalu                                    apabila masak sekaligus semuanya
muda magulang rap margulu                                 apabila terguling sama-sama berlumpur

  
ADAT PERGAULAN NA POSO NA ULI BULUNG

Dalam interaksi sosial sehari-hari, anak laki-laki diberi nama panggilan lian dan sebutan taing diperuntukkan bagi anak perempuan. Nama panggilan lian berasal dari kata dalian, dan istilah taing berasal dari kata tataring. Kedua istilah nama panggilan bagi anak laki-laki dan anak perempuan tersebut ada kaitannya dengan peralatan memasak di dapur rumah. Di Mandailing, tataring adalah suatu tempat khusus untuk memasak yang terletak di sudut ruangan dapur rumah. Tataring berbentuk kubus dengan ukuran sekitar 100 x 80 x 20 centi meter. Dindingnya terbuat dari gogat (bambu yang dipecah) atau kayu (papan), dan bagian dalamnya terisi penuh dengan tanah kering. Di atas tataring ini biasanya terdapat dua tumpukan batu yang masing-masing terdiri atas tiga buah batu bulat lonjong yang ditata dengan posisi seperti bentuk segi tiga sama sisi.

Tumpukan batu yang dipergunakan untuk menyangga peralatan memasak seperti udon tano (belanga) tersebut disebut dalian. Jadi dalam hal ini pengertian dalian adalah suatu alat yang berfungsi sebagai penyangga atau tumpuan, dan tataring itu sendiri merupakan landasan atau pijakan dari dalian tersebut. Dapat ditambahkan bahwa seorang ibu rumah tangga dinamakan pula induk niapi.

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa para pemuda dan anak gadis memiliki kebiasaan tidur secara berkelompok di luar rumah orang tuanya. Rumah tempat tidur khusus bagi anak perempuan disebut bagas podoman, sedangkan tempat untuk tidur bagi para pemuda dinamakan sopo podoman. Biasanya para anak gadis pergi ke bagas podoman mereka sekitar pukul 2000 WIB (malam hari) dan pada waktu subuh mereka kembali ke rumah masing-masing untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan membantu pekerjaan orang tua mereka di sawah atau di ladang, dan demikian pula halnya dengan para pemuda. Boleh dikatakan bahwa hampir semua kebutuhan hidup para pemuda dan anak gadis masih ditanggung oleh orang tuanya.

Tidaklah dianggap pantas apabila seorang anak gadis berkeliaran atau pergi ke suatu tempat hanya seorang diri. Sebab kelakukan seperti itu dapat menimbulkan prasangka buruk di tengah-tengah masyarakat. Ketika seorang anak anak gadis hendak keluar rumah misalnya untuk bertemu dengan temannya, dia ditemani oleh inang (ibu kandung), etek (adik perempuan ibu), bouk (kakak perempuan ayah), atau paling tidak oleh anggi (adik) kandungnya sendiri. Ketika berada di luar rumah tersebut, si anak gadis biasanya tidak akan melewati tempat-tempat berkumpulnya kaum pria seperti lopo (kedai kopi) atau sopo podoman. Hal ini dilakukan untuk menjaga martabat dirinya agar warga masyarakat tidak memandangnya sebagai bujing-bujing na urgit (anak gadis yang genit). Dari sisi lain, busana yang dikenakan para anak gadis cukup sopan karena pada bagian kepala mereka tutup dengan busaen atau songkok (kerudung), sedangkan bagian badan dan kaki terbungkus dengan baju kurung (baju terusan) dan abit (kain sarung bermotif kembang).

Sebaliknya ruang gerak para pemuda boleh dikatakan lebih bebas daripada anak gadis. Di saat-saat tertentu para pemuda acap kali tampak bergerombol misalnya sewaktu mereka mardalan-dalan (jalan-jalan) di sore hari, dan pada malam harinya mereka berkumpul di sopo podoman. Dahulu, dalam penampilannya sehari-hari para pemuda selalu memakai kupiah (peci) dan tidak ketinggalan pula sebuah abit karung (kain sarung bermotif garis-garis lurus) yang disandangkan pada bagian pundak atau dililitkan pada bagian pinggangnya. Mereka biasanya mengenakan baju gunting cino (baju model Cina) dan saraor panjang (celana panjang). Selain itu, setiap pemuda umumnya memiliki sebuah piso balati (pisau belati) yang banyak gunanya bagi mereka seperti misalnya untuk membuat alat musik tiup tulila atau membuat lubang pangkusipan.

Kendati ruang gerak pergaulan Na Poso Na Uli Bulung dibatasi oleh adat-istiadat yang ketat, namun ada beberapa kesempatan tertentu yang memungkinkan mereka berinteraksi yang dapat dibagi dalam tiga bentuk kegiatan. Pertama, adalah kegiatan bersama dengan warga masyarakat lainnya seperti pada acara marburangir atau paboru-boruon[13] di dalam rumah calon mempelai pria sebelum upacara adat perkawinan dilangsungkan beberapa hari kemudian. Kedua, adalah kegiatan muda-mudi dalam mengisi waktu-waktu senggang mereka seperti acara mangarabar.[14] Dan ketiga, adalah interaksi muda-mudi dalam kegiatan berkencan yang bersifat rahasia, yaitu markusip.

  
STRATIFIKASI SOSIAL

Pada masyarakat Mandailing ada ditemukan stratifikasi (pelapisan) sosial yang telah berlangsung secara turun-temurun dalam tiga lapisan, yaitu : (1) na mora-mora, adalah golongan bangsawan; (2) alak na jaji atau si tuan na jaji, adalah orang kebanyakan atau rakyat biasa; dan (3) hatoban atau partangga bulu, adalah hamba sahaya. Namun di beberapa huta di Mandailing, antara lapisan na mora-mora dan alak na jaji terdapat lapisan perantara yang disebut na toras-toras, adalah pemuka-pemuka masyarakat yang tidak berstatus bangsawan maupun orang biasa, atau boleh dikatakan kedudukan na toras-toras lebih rendah dari kaum bangsawan tetapi lebih tinggi dari rakyat biasa.
Na mora-mora merupakan kelompok tersendiri dalam kelompok marga-nya, yang secara patrilineal berasal dari pendiri pertama huta mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pada mulanya status kebangsawanan dahulu tidaklah dibawa lahir melainkan karena penghargaan yang tinggi dari anggota masyarakat terhadap pendiri pertama huta mereka tersebut, setelah itu barulah tahta kerajaan diwariskan secara berantai kepada keturunanya. Karena yang dipandang sebagai pendiri pertama sejumlah huta di Mandailing adalah bermarga Lubis dan Nasution, sehingga hanya pada kedua marga itu saja yang muncul lapisan na mora-mora. Sedangkan na toras-toras yang jumlahnya relatif sedikit itu tercipta dari kelompokkelompok kerabat yang anggotanya ada hubungan perkawinan dengan kerabat dekat raja atau na mora-mora. Jadi pada umumnya kelompok marga yang terdapat di Mandailing adalah lapisan alak na jaji.

Boleh dikatakan bahwa perbedaan antara na mora-mora dan alak na jaji tidaklah begitu menonjol dalam kehidupan sehari-hari karena sesungguhnya antara na mora-mora dan alak na jaji yang semarga senantiasa menyadari bahwa kedua belah pihak memiliki hubungan sedarah. Sedangkan terhadap marga-marga lainnya yang tergolong sebagai alak na jaji, biasanya na mora-mora mempunyai hubungan kekerabatan berdasarkan ikatan tali perkawinan.

Lapisan terbawah yaitu hatoban atau partangga bulu dapat dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan hal-hal yang menyebabkan mereka menjadi bagian dari lapisan tersebut. Pertama, karena mereka tidak membayar utangnya; kedua, mereka adalah orangorang yang sengaja dibeli untuk dijadikan sebagai hamba sahaya; dan ketiga, mereka diperhamba karena mereka kalah dan takluk dalam peperangan. Kaum bangsawan di Mandailing dapat diidentifikasi dengan mudah karena mereka biasanya menyandang gelar antara lain: Raja, Sutan, Mangaraja, dan Baginda. Di samping itu, rumah tempat tinggal mereka dihiasi dengan ornamen-ornamen khas yang disebut bagas na martanduk atau bagas na marbolang.

  
SI PELEBEGU

Masa sebelum masuknya agama Islam ke Mandailing, orangorang yang bermukim di sana pada waktu itu menganut sistem kepercayaan animisme yang dinamakan si pelebegu (pemujaan rohroh). Namun demikian keterangan mengenai sistem kepercayaan si pelebegu ini sekarang sangat sulit diperoleh karena orang-orang Mandailing selalu berusaha menutup diri apabila sistem religi leluhur mereka itu dipertanyakan. Keadaan di masa lalu sebagai “masa yang hitam dan kelam” itu mereka sebut maso na itom na robi.

Pada tahun 1999, saya bersama dengan Fumi Tamura[15] dan kawan-kawannya pernah mengaudio-visualkan seni pertunjukan gordang sambilan di Sayurmaincat, Kotanopan, Mandailing Julu. Salah satu repertoar (lagu) yang dimainkan dengan gordang sambilan ketika itu adalah gondang mamele begu (irama atau musik untuk memuja roh-roh). Hal ini menunjukkan bahwa gordang sambilan memiliki kedudukan dan peran penting dalam sistem kepercayaan si pelebegu di masa lalu. Dalam hal ini, Pangaduan Lubis ada mencatatkan, bahwa “sampai sekitar awal abad ke-20, sisa dari sistem religi kuno itu masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing meskipun agama Islam telah merata menjadi anutan orang Mandailing. Di beberapa tempat misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh yang disebut pasusur begu atau marsibaso yang sangat dikutuk oleh para ulama Islam. Sesuai dengan tradisi si pelebegu upacara tersebut dilakukan untuk meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi suatu keadaan yang sulit, seperti misalnya musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang sempat menyaksikan upacara tersebut sulit membantah bahwa mereka memang melihat turunnya hujan lebat di tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu”.[16]

Beberapa orang yang sudah cukup tua di Mandailing ada menyebut dua tokoh yang ditautkan dengan sistem kepercayaan si pelebegu, yaitu sibaso dan datu. Sibaso dalam banyak hal Sangay dibutuhkan oleh raja dan penduduk huta untuk melakukan hubungan komunikasi dengan alam gaib atau roh leluhur karena sibaso merupakan medium yang melalui suatu upacara ritual tertentu dapat dirasuki oleh roh leluhur untuk memberi petunjuk guna mengatasi berbagai macam bala (malapetaka) seperi persoalan kemarau panjang dan penyakit menular yang mewabah. Sampai saat ini, datu masih memiliki kedudukan dan peran penting dalam masyarakat Mandailing. Datu dikenal dan dibutuhkan sebagai tradisional curer (penyembuh tradisional) atau sebagai medicine man (dukun untuk mengobati). Di setiap huta biasanya terdapat beberapa orang datu, ada datu yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, namun ada pula datu yang menjurus kepada spesialisasi penyembuhan penyakit-penyakit tertentu, seperti misalnya datu rasa khusus untuk menyembuhkan orang yang terkena rasa (racun); datu ipon adalah dukun yang khusus menyembuhkan orang yang sedang mengalami sakit gigi; dan datu natarsilpuk adalah dukun khusus untuk mengobati orang yang mengalami sakit karena terkilir atau patah tulang.

Di masa lalu, kedudukan dan peran datu lebih luas daripada yang diuraikan di atas, karena seorang datu antara lain dapat menentukan waktu-waktu yang tepat dan baik untuk turun ke sawah, menuai padi, pelaksanaan upacara adat perkawinan maupun untuk memasuki rumah baru. Di samping itu, kemampuannya dalam meramal diperlukan untuk melihat kapan datangnya suatu bencana atau sebaliknya keberuntungan, dan ilmu gaibnya yang luar biasa itu dibutuhkan untuk menangkal atau menyembuhkan penyakit akibat guna-guna. Seorang datu selalu diresahi tanggungjawab untuk memimpin berbagai upacara adat dan ritual karena ia dipandang sebagai “gudang ilmu”. Datu sebagai pendamping raja mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk memberikan berbagai macam traditional wisdom (kearifan tradisional) yang sangat dibutuhkan guna kesempurnaan hidup komunitas huta”.[17]

Orang-orang yang bermukim di Mandailing sekarang umumnya sudah memeluk agama Islam dan sudah sejak lama para ulama Islam berusaha untuk mengikis habis kepercayaan si pelebegu. Namun di antara orang-orang Mandailing hingga kini masih ada yang melaksanakan berbagai upacara adat yang sangat erat kaitannya dengan religi kuno itu, seperti ritus mangupa-upa (upacara untuk memanggil tondi guna membangkitkan semangat hidup seseorang) dan marpangir (tradisi berlangir) di batang aek (sungai), sehingga pelaksanaan ritus-ritus tersebut selalu menjadi sumber perdebatan yang tak kunjung habisnya antara tokoh-tokoh adat dan para ulama Islam di Mandailing.


BAHASA MANDAILING

Masyarakat Mandailing memiliki bahasanya sendiri, yaitu bahasa Mandailing. Berdasarkan klasifikasi bahasa yang ditawarkan Slamet Mulyana, bahasa Mandailing termasuk rumpun bahasa Austronesia. Pangaduan Lubis ada mengemukakan bahwa di dalam bahasa Mandailing terdapat lima ragam bahasa yang masing-masing kosa katanya berbeda satu sama lain.[18]

Ke lima ragam bahasa itu adalah: (1) hata somal, yaitu ragam bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari; (2) hata andung, yaitu ragam bahasa sastra yang dipakai dalam tradisi mangandung (meratap) pada upacara adat perkawinan atau kematian; (3) hata teas dohot jampolak, yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam pertengkaran atau mencaci-maki seseorang; (4) hata si baso, yaitu ragam bahasa yang secara khusus digunakan si baso (tokoh shaman) atau datu (dukun); dan (5) hata parkapur, yaitu ragam bahasa yang dipergunakan orang Mandailing di masa lalu ketika mereka berada di dalam hutan untuk mencari kapur barus. Misalnya, kata “mata” dapat dipakai untuk memperlihatkan kosa katanya. Dalam hata somal, indra penglihatan ini disebut mata, dalam hata andung adalah simanyolong, dan dalam hata teas dohot jampolak adalah loncot. Contoh lain, kata “daun sirih” dalam hata somal adalah burangir, dalam hata andung adalah simanggurak, dan dalam hata si baso atau datu adalah situngguk. Selain itu, kata “harimau” dalam hata somal adalah babiat, sedang dalam hata parkapur adalah ompung i, raja i, na gogo i.

Di masa lalu orang Mandailing juga memiliki satu alat komunikasi atau jenis bahasa tertentu yang disebut hata bulungbulung (bahasa dedaunan). Bahasa ini bukanlah berupa lambang bunyi, melainkan menggunakan daun tumbuh-tumbuhan sebagai perlambangnya. Hata bulung-bulung ini biasanya dipergunakan na poso na uli bulung (kalangan muda-mudi) sebagai alat komunikasi dalam memadu dan mengungkapkan perasaan cinta secara rahasia. Sebab menurut adat-istiadat lama, na poso-poso (para pemuda) dan bujing-bujing (para anak gadis) tidak boleh bergaul bebas dan terbuka di depan umum, sehingga perasaan cinta yang bagaimanapun menggeloranya di antara pemuda dan anak gadis harus tetap dirahasiakan. Dengan adanya adat-istiadat yang demikian itu, hata bulung-bulung dimanfaatkan sebagai salah satu media untuk saling mengkomunikasikan perasaan dan isi hati mereka.***


KESENIAN TRADISIONAL

Orang Mandailing menyebut sebagian musik tradisional mereka dengan ungkapan “uning-uningan ni ompunta na parjolo sundut i”. Artinya, seni musik dari para leluhur yang diwariskan secara turun-temurun, antara lain seperti ensambel musik gordang sambilan dan gondang boru yang dimainkan pada berbagai upacara adat dan ritual[19], adalah seni pertunjukan yang cukup terkenal dari tano sere Mandailing.

Pada horja siriaon (upacara adat perkawinan)[20] dan horja siluluton (upacara adat kematian yang juga disebut mambulungi)[21], selain gordang sambilan, biasanya gondang boru juga dimainkan untuk mengiringi tortor (tarian adat). Dalam upacara adat ini, pihak-pihak yang menarikan tarian adat tortor antara lain adalah kelompok kekerabatan mora, kahanggi (suhut) dan anak boru.[22] Karena itulah tortor yang ditarikan oleh kelompok-keleompok kekerabatan itu dinamakan tortor mora, tortor suhut dan tortor anak boru. Selain itu, dalam setiap horja godang (pesta besar) biasanya kalangan raja-raja juga menarikan tarian adat tortor, sehingga tortor tersebut dinamakan tortor raja-raja (disebut juga tortor namora-mora), dan tortor yang ditarikan oleh kalangan muda-mudi disebut tortor naposo nauli bulung.

Di masa lalu, gordang sambilan juga dimainkan ketika suatu huta atau banua sedang mengalami bencana seperti merebaknya wabah penyakit menular. Upacara ritual ini dinamakan paturun sibaso atau pasusur begu. Melalui perantaraan seorang medium (tokoh shaman) yang disebut sibaso, seorang datu (tokoh supranatural sebagai pemimpinan ritus tersebut) melakukan komunikasi dengan sibaso untuk mengetahui penyebab bencana sekaligus solusinya. Selain itu, gordang sambilan atau gordang tano[23] juga dimainkan untuk meminta hujan turun (dengan memainkan gondang mangido udan) ketika terjadi kekeringan (musim kemarau) yang berkepanjangan[24], dengan maksud agar aktivitas pertanian dan kehidupan masyarakat dapat pulih kembali.

Ensambel gordang sambilan terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang relatif cukup besar dan panjang (drum chime) yang dibuat dari kayu ingul dan dimainkan oleh empat orang. Ukuran dari kesembilan gendang tersebut secara bertingkat mulai dari yang paling kecil dan pendek sampai kepada yang paling panjang dan besar. Tabung resonator dibuat dengan cara melobangi kayu, dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu kering (disebut jangat) yang diregangkan dengan rotan yang sekaligus berfungsi sebagai alat pengikatnya.

Kesembilan gendang tersebut mempunyai nama sendiri yang tidak sama di semua tempat di Mandailing. Di Gunungtua-Muarasoro, nama gendang secara berurutan dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar bernama: eneng-eneng, panulus, paniga dan jangat. Selain itu, ada pula sejumlah peralatan musik metalofon yang dinamakan ogung jantan dan ogung boru-boru (lebih besar sedikit dari ogung jantan) yang dimainkan oleh satu orang; mongmongan (tiga buah gong kecil berpincu) yang dimainkan satu orang; doal (sebuah buah gong berpincu yang lebih besar sedikit dari mongmongan) yang dimainkan satu orang; dan talisasayat (simbal) yang dimainkan oleh satu orang; serta sebuah alat musik tiup bernama saleot atau sarune yang dimainkan satu orang. Adapun gondang (repertoar lagu) yang dimainkan dengan ensambel gordang sambilan ini antara lain: sabe-sabe, horja, moncak, sampuara batu magulang, roba na mosok, udan potir, aek magodang, mamele begu dan sarama babiat.[25] Sedangkan ensambel gondang boru terdiri dari dua buah gendang dua sisi berbentuk barrel yang masing-masing dimainkan oleh satu orang. Ensembel gondang boru juga dilengkap dengan berbagai alat musik metalofon dan aerofon seperti yang ada pada ensambel gordang sambilan. Meskipun ensambel gondang boru biasanya hanya dipergunakan untuk mengiringi tarian adat tortor, akan tetapi gondang (repertoar lagu) yang dimainkan dengan ensambel gordang sambilan dapat pula dimainkan dengan ensambel gondang boru.

Di beberapa sopo (dangau) baik di sawah maupun di ladang petani dapat dijumpai sebuah alat musik yang terbuat dari seruas bambu yang disebut etek. Alat musik ini, pada bagian bawahnya dilobangi untuk resonansi suara dan pada salah satu bagian ujungnya diarit untuk membuang bagian dalamnya sehingga membentuk huruf “U”. Etek dimainkan oleh satu orang dengan memakai dua atau tiga buah stik dari kayu. Di samping dapat digunakan untuk menghalau berbagai macam hama tanaman seperti burung dan kera, etek juga digunakan sebagai sarana untuk melatih pola-pola ritmik yang biasa dimainkan pada gordang sambilan. Oleh sebab itulah ada satu ungkapan “etek do mulo ni gondang”, yang artinya etek lah asal mula dari gondang. Sedangkan untuk melatih pola-pola ritmik yang dimainkan pada gondang boru, alat musik yang digunakan adalah gondang bulu. Alat musik ini terbuat dari seruas bambu yang pada bagian bawahnya, sembilunya dibuang dan disayat lebar untuk resonansi suara, dan sembilu pada bagian atasnya dicungkil untuk membuat senar sebanyak tiga buah yang diregangkan dengan menggunakan ”pasak-pasak” (potongan-potongan kayu kecil). Alat musik ini dimainkan oleh satu orang dengan memakai satu dan atau dua buah stik yang terbuat dari sepotong bambu.[26] Selain kedua alat musik tersebut, di sopo tersebut adakalanya seseorang juga menyembunyikan berbagai alat musik tiup agar tidak diambil orang lain, seperti suling, salung, sordam, dan katoid. Alat-alat musik tiup yang terbuat dari bambu ini juga selalu tersedia di sopo podoman, yaitu tempat tidur khusus para pemuda yang terletak di pinggir perkampungan. Oleh karena relung-relung jiwa muda mereka yang penuh dengan gejolak perasaan cinta dan rindu dendam terhadap sang kekasih pujaan hati yang selalu didambakan siang dan malam, sehingga hampir setiap malam hari dari sopo podoman itu terdengar alunan bunyi merdu suling atau salung yang diselang-selingi dengan nyanyian ungut-ungut.

Ketika musim tanam padi tiba, para petani ada yang membuat sebuah alat musikal yang dinamakan gondang aek (kincir air) yang dapat berfungsi sebagai alat pengontrol debit air sawah agar padi yang baru ditanam dapat tumbuh dengan baik. Dan ketika musim panen panen tiba, seringkali didengar bunyi alat musik tiup yang disebut uyup-uyup durame atau olanglio yang terbuat dari puput batang padi. Untuk memperbesar volume suaranya, pada bagian ujungnya dililitkan daun muda dari pohon kelapa yang semakin membesar ke depan yang disebut pokak.

Di Mandailing, baik di areal sawah maupun di ladang dapat ditemukan kolam ikan milik petani yang disebut tobat. Jenis ikan yang dipelihara di dalam tobat antara lain ikan: mas, kalu, mujair dan siroken. Di tobat ini biasanya ditanam secara tersembunyi sebuah alat musikal yang terbuat dari bambu yang disebut dongung-dongung. Alat musikal ini dapat berfungsi sebagai pengontrol debit air tobat. Apabila debit air tobat semakin berkurang, secara otomatis dongung-dongung tersebut mengeluarkan suara berdengung yang cukup keras dan lama, sehingga si pemilik tobat dapat mendengar dan mengetahui bahwa debit air kolam ikannya mengalami gangguan yang nantinya dapat berdampak pada kehidupan ikan peliharaannya.

Pada waktu siang hari biasanya suasana huta (kampung) terasa sepi dan lengang karena warga huta umumnya pergi bekerja di sawah ataupun di ladang masing-masing. Begitupun, tetap ada orang yang tinggal di huta seperti orang-orang yang sudah cukup tua dan beberapa anak gadis yang mengasuh adik-adiknya yang masih kecil-kecil. Tidak jarang, di siang hari yang lengang itu terdengar suara musikal yang dimainkan oleh seorang anak gadis. Alat musikal ini disebut juga uyup-uyup yang terbuat dari selembar bulung tarutung bolanda (daun pohon sirsak) atau terbuat dari sepotong bulung pisang (daun pohon pisang) yang digulung membentuk kerucut, lalu dimasukkan ke dalam mulut untuk ditiup dengan cara dan teknik tertentu.[27] Di samping itu, adakalanya sang kakak (perempuan) menyanyikan lagu nina bobok (lublaby) yang disebut bue-bue, sembari mengayun-ayun adiknya di dalam atau pun di luar rumah untuk menidurkannya.

Gadis-gadis Mandailing juga tidak jarang melakukan aktivitas musikal lain di tapian (tempat khusus mandi di pinggir sungai) setelah mereka selesai mencuci pakaian yang kotor serta peralatan makan dan memasak seperti pinggan, tapak, cendok, sonduk, udon, kuwali, dan lain-lain. Setelah semuanya bersih, lalu mereka pergi agak ke tengah sungai untuk mandi. Pada saat itu, beberapa orang gadis adakalanya berinisiatif melakukan aktivitas musikal yang disebut markatimbung. Dengan cara dan teknik tertentu, mereka secara bergantian saling memasukkan kedua tangan ke dalam air sehingga menimbulkan bunyi musikal yang spesifik. Bunyi musikal yang demikian itu ternyata mampu menarik perhatian kita dan mau meluangkan waktu sejenak untuk mendengarkannya. Meskipun dengan media yang lain, pola bunyi musikal yang relatif sama dengan aktivitas markatimbung ini, dapat kita dengar ketika gadis-gadis dan atau ibu-ibu sedang menumbuk padi secara bergantian di samping rumah mereka dengan menggunakan losung (lesung) dan indalu (antan) yang disebut dengan istilah marsidua atau marsitolu.

Di malam hari yang gelap dan dingin menjelang dini hari, selalu saja ada pemuda dan pemudi yang berkencan di dalam huta. Si pemudi berada di dalam rumah (disebut bagas podoman) sementara si pemuda berada di luar rumah tersebut. Mereka berdialog dengan cara berbisik-bisik melalui sebuah lubang kecil yang terdapat pada dinding rumah (disebut lubang pangkusipan). Oleh sebab itulah kegiatan ini disebut markusip atau mangkusip.[28] Tidak jarang si pemuda membisikan ende-ende (pantun) untuk mengungkapkan gejolak perasaannya, demikian juga si pemudi tatkala mangalus (menyahut) dari dalam rumah dengan cara yang sama. Dan untuk menambah suasana romantis dan kemesraan di antara mereka berdua, tidak jarang si pemuda meniup sebuah alat musik kecil bernama tulila, atau genggong (jaw’sharp), yang terkadang memang diminta oleh si pemudi itu sendiri untuk menghibur dirinya yang sedang kasmaran.

Tidak jauh dari perkampungan mereka, di puncak tor (bukit-bukit kecil) dapat pula ditemukan sebuah alat musikal yang disebut pior (kincir angin). Selain berguna untuk menunjukkan arah hembusan angin, ternyata pior ini pun dapat menghasilkan bunyi yang cukup merdu. Di masa lalu, suara pior ini dimanfaatkan oleh para pemuda dengan memakai mantra-mantra tertentu (ilmu gaib) yang disebut pitunang, untuk menaklukkan hati anak gadis yang didambakannya.

Nyanyian tradisional yang disebut ende sesungguhnya tidak banyak ditemukan di Mandailing. Ende yang dikenal luas di Mandailing Godang adalah sitogol, sementara di Mandailing Julu adalah ungut-ungut, sedangkan jenis ende lain yang disebut jeir biasanya hanya dinyanyikan dalam upacara adat perkawinan Horja Godang sebagai salah satu bagian terpenting dari kegiatan tortor (manortor) yang diiringi dengan ensambel gondang boru.

Sama seperti keadaan ende, bentuk sastra lisan pun amat sedikit ditemukan di Mandailing. Sastra lisan yang cukup dikenal luas adalah ende-ende (pantun) dan turi-turian (cerita bertutur). Turi-turian yang cukup dikenal luas antara lain Raja Gorga Di Langit, Nan Sondang Milong-ilong, dan Sitapi Surat Tagan. Seseorang yang memiliki keahlian melantunkan turi-turian ini disebut parturi, yang sekarang ini sudah langka ditemukan di Mandailing, bahkan mungkin saat ini tidak ada lagi. Sewaktu melakukan penelitian di Maga Lombang (1990), saya masih sempat menyaksikan keahlian marturi yang disajikan oleh Abdul Hakim Lubis (Jatumaya). Beliau ini juga seorang datu, yang telah berusia 51 tahun.

Salah satu artifak peninggalan sejarah orang Mandailing yang berkaitan dengan seni patung dan pahat adalah tagor, yang di masa lalu ditempatkan pada areal pemakaman kuno yang disebut lobu atau huta lobu. Dan ada pula patung yang disebut pangulu balang, yang ditempatkan di empat sudut huta. Kedua patung batu ini dahulu dipercayai oleh masyarakat Mandailing memiliki tuah (keramat). Selain itu, ada artifak lain berupa patung bernama sangkalon sipangan anak sipangan boru yang terbuat dari kayu yang biasanya ditempatkan di depan Sopo Godang (Balai Sidang Adat), yang tidak jauh letaknya dari Bagas Godang (Istana Raja). Bagi orang Mandailing, artifak bernama sangkalon ini merupakan simbol keadilan atau falsafah hukum adat mereka, sesuai dengan ungkapan yang melekat padanya, yaitu “sipangan anak sipangan boru”. Artinya, siapapun yang telah melakukan kesalahan atau pelanggaran harus diberi sanksi sesuai dengan ketentuan adat dan uhum (hukum) yang berlaku, sekalipun terhadap kaum-kerabat dan anak (laki-laki dan perempuan) sendiri.

Pada atap bagian depan Bagas Godang dan Sopo Godang yang disebut bindu matoga matogu atau tutup ari terdapat ornamen tradisional yang umumnya berbentuk simetris (garis-garis lurus) diberi warna hitam, putih dan merah yang pada hakikatnya mengandung makna-makna penting dan mendalam bagi masyarakat yang hidup sebagai komunitas huta atau banua di tano rura Mandailing.


END NOTE
[1] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hal. 278.
[2] Pada tahun 1992, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Propinsi Sumatera Utara mengambil kebijakan untuk melakukan pemekaran terhadap wilayah Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Utara. Sesuai dengan kebijakan tersebut, Mandailing dan Natal dinaikkan statusnya menjadi Daerah Tingkat II dengan nama Kabupaten Mandailing-Natal yang sekarang lebih dikenal dengan nama Madina.
[3' Pangaduan Lubis, “Na Mora Na Toras: Kepemimpinan Tradisional Mandailing”, (Skripsi FISIP USU Medan, 1986), hal. 43-44.
[4] Ibid, hal. 46.
[5] Ibid, hal. 48.
[6] Belanda memasuki wilayah Mandailing Julu menjelang pertengahan abad ke- 19, dan kemudian mereka mendirikan benteng-benteng pertahanan di Singengu dan Kotanopan. Seorang kontroler Belanda ditempatkan di Kotanopan sampai masa kedatangan penjajah Jepang. Di Kotanopan masih dapat ditemukan bangunanbangunan berciri kolonial Belanda seperti bangunan Kantor Pos dan Resthouse (Pesanggerahan). Dinar Matondang, “Nyanyian Tradisional Mandailing Ungut-Ungut: Suatu Studi Kasus”, (Skripsi Fakultas Sastra USU Medan, 1988), hal. 47.
[7] Pangaduan Lubis, Op.Cit., hal, 89-90.
[8] Ibid, hal. 69.
[9] Ibid, hal. 75.
[10] Zulkifli B. Lubis, “Manipol: Studi tentang Orientasi Nilai Budaya Mandailing”, (Skripsi FISIP USU Medan, 1988), hal. 31-32.
[11] Pangaduan Lubis, Op.Cit, hal. 75.
[12] Zulkifli B. Lubis, Op.Cit., hal. 63.
[13] Marburangir atau paboru-boruon adalah tradisi pergaulan muda-mudi dalam rangka menyambut “tamu” yang baru di desa mereka, yaitu calon pengantin wanita untuk diperkenalkan kepada kalangan pemuda dan anak gadis di desa tersebut. Kegiatan muda-mudi ini biasanya dilaksanakan beberapa hari sebelum upacara adat perkawinan diselenggarakan dan berlangsung pada malam hari dari pukul 20.00 hingga pukul 24.00 tengah malam.
[14] Mangarabar adalah suatu kegiatan muda-mudi dalam mengisi waktu-waktu luang mereka dengan membuat makanan ringan “rujak” dari buah gala-gala, nangka ataupun pisang muda seraya bersenda-gurau sesama mereka di siang hari.
[15] Fumi Tamura adalah seorang etnomusikolog yang mengajar di Tokyo National University of Fine Arts & Music di Jepang. Kami merekam seni pertunjukan Gordang Sambilan secara audio-visual di Sayurmaincat pada tanggal 1 April 1991. Ensambel Gordang Sambilan ini dipimpin oleh Guru Panusunan Lubis, adalah salah seorang keturunan raja dari Tamiang, Mandailing Julu. Menyangkut istilah gondang yang mengandung pengertian musik, instrumen, lagu dan sebagainya telah diuraikankan dalam tulisan saya berjudul “Gondang Aek Magodang dan Riwayatnya”, (Harian Waspada Medan, 28 Nopember 1990), hal. V.
[16] Pangaduan Lubis, Op.Cit., hal. 101.
[17] Ibid, hal. 102.
[18] Pangaduan Lubis, “Sastra Mandailing dan Kita: Suatu Perkenalan Awal”, (makalah dalam Seminar Kebudayaan Mandailing di Fakultas Sastra USU Medan, 1990), hal. 1-6.
[19] Di beberapa huta, gondang boru dinamakan juga gondang dua , gondang topap, atau tunggu-tunggu dua. Di masa lalu gordang sambilan digunakan untuk meminta hujan turun ketika musim kemarau panjang terjadi dengan repertoar gondang mangido udan. Selain itu gordang sambilan juga digunakan untuk memuja roh leluhur dengan repertoar gondang mamele begu semasa orang Mandailing dahulu memeluk agama animisme sipelebegu.
[20] Untuk menghias rumah tempat pelaksanaan horja siriaon, salah satu bahan yang digunakan adalah bulung ni bargot (daun muda pohon enau). Dari daun pohon enau beserta lidinya, orang-orang dewasa seringkali membuat sebuah alat musikal untuk dimainkan anak-anak yang disebut eor-eor. Dapat ditambahkan bahwa salah satu sumber mata pencaharian tambahan di Mandailing adalah menyadap air nira (disebut ngiro) dari pohon enau untuk dijadikan gula aren (disebut gulo bargot). Kegiatan menyadap air nira dari pohon enau ini disebut manggual bargot, yang dalam prosesnya si penyadap pohon enau menyanyikan lagu tertentu dengan harapan agar air nira yang akan diperolehnya cukup banyak.
[21] Untuk kaum bangsawan (namora-mora) yang meninggal dunia dahulu dibuat satu keranda khusus yang disebut roto, dan repertoar musik yang dimainkan ketika itu adalah gondang roto. Dapat ditambahkan bahwa "For the burial ceremony (Orja Mambulungi), only two of the nine drums are called Jangat. But in the context ceremony itselft the drums are called Bombat". Lihat Z. Pangaduan lubis, "Gordang Sambilan, the Nine Great Drums of the Mandailing People", http://www.mandailing.org/Eng/Homeland01.html.
[22] Suhut adalah kelompok kekerabatan semarga (kahanggi) yang memimpimpin dan mengarahkan pelaksanaan suatu upacara adat atau ritual.
[23] Gordang tano dibuat di atas permukaan tanah yang bagian bawahnya dilobangi dan kemudian ditutup dengan beberapa belah kayu (papan). Di bagian atasnya diregangkan empat buah senar yang terbuat dari otang (rotan) dan dimainkan oleh lima
orang dengan menggunakan stik dari kayu. Keterangan yang lebih mendalam tentang gordang tano ini lihat majalah TEMPO, Edisi: 16 Oktober 1987.
[24] Z. Pangaduan Lubis antara lain menuliskan, bahwa "During the period of animism, the Gordang Sambilan was employed to evoke the spirits of the Mandailing ancestors to come to the rescue of Mandailing society. The ceremony was called paturuan Sibaso (to call upon the spirits to put the Sibaso into trance). The purpose is to summon the ancestors to come to the assistance of the Mandailing people, when afflicted by a plague, for example. Gordang Sambilan was also employed to bring down the rain during drought and to stop the rain when bad weather caused hardship to people". Lihat Z. Pangaduan Lubis, Op.Cit.
[25] Gondang sarama babiat dapat dimainkan dengan ensambel gordang sambilan dan gondang boru pada saat seekor harimau yang selalu mengganggu ketenteraman penduduk suatu huta telah mati setelah diburu dan dibunuh oleh warga huta setempat. Seiring dengan kematian harimau tersebut dilaksanakan suatu upacara adat karena orang Mandailing memandang harimau sebagai mahluk yang memiliki kekuatan magis yang juga memiliki adat-istiadat. Ketika gondang dimainkan, seorang laki-laki menarikan tarian (disebut manyarama) yang mirip dengan gerakan-gerakan seekor harimau yang sedang marah.
[26] Lihat juga Kartomi yang antara lain menuliskan: "A fourth ensemble type consists of bamboo percussion instruments called gondang buluh ("bamboo drums"), plus optional cymbals, gong, kettles and the solo human voice. Four bamboo strings, slit out from the surface of the bamboo body, are raised on bridges and beaten with a pair of small sticks to produce several pitch levels. There are no bowed strings". Margaret J. Kartomi, "The Music of the Mandaling People of North Sumatra
", http://www.mandailing.org/Eng/music.html.
[27] Lihat Edi Nasution, "Uyup-uyup Natarsimo sian Mandailing", Harian Waspada, 1991.
[28] Istilah yang lebih dikenal luas di kalangan pemuda untuk kegiatan markusip atau mangkusip ini adalah mamarik-marik, yang artinya melakukan "sesuatu" di belakang rumah-rumah penduduk. Uraian yang lebih lengkap mengenai budaya markusip dan martulila ini lihat Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, Penang-Malaysia: Arecabooks, 2007.


Sumber_1: http://gondang.blogspot.com/search/label/Seni%20Tradisional%20Mandailing
Sumber_2: http://edinasution.wordpress.com/banua/

Diaru Nasution Apakah Mandailing Batak atau bukan ? By. St. Diaru Parlindungan Nasution.

Dalam membentuk suatu komunitas yang mampu bertahan hidup pada zaman dahulu tentu sangat tergantung kepada tempat mereka berdiam , geokrafisnya , ketersediaan alam untuk kebutuhan , kesuburan tanahnya , iklim yang baik dan seterusnya.
Mandailing yang sangat dikenal dengan sebutan Tano Omas Sigumorsing , rura Mandailing , Napa-napa ni Mandailing , Rura naso tariang , dst. ( Tanah mas yang kekuning - kuningan , Belukar Mandailing , tanah yang datar Mandailing , hutan kecil atau rawa yang tak bisa dikeringkan ) Yang mengartikan bahwa wilayah Mandailing area yang sangat ideal untuk berkembangnya kehidupan yang sangat layak dan maju.

Mas yang begitu banyak terkandung di tano omas sigumorsing sampai hari ini masih tersisa sangat banyak walau sudah du keruk dari abat ke abat atau pada abat ke delapan malah mungkin dari abat ke empat sampai hari ini masih mudah menemukan biji-biji mas tersebut.

Pertanian yang subur yang pada hari ini pun masih di temukan di rura Mandailing yang terhampar luas begitu juga untuk tambahan makanan dan mata pencaharian sebagai penangkap ikan masih dapat di temukan di sungai sungai yang sebahagiannya masih terpelihara di rura Mandailing na sora hiang sana.
Hasil hutan yang masih ada yang belakangan ini kurang ter urus dan menmgalami kerusakan yang sangat parah oleh tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab.

Akibat dari semua keadaan yang tersedia dari zaman dahulu kala dan tidak habis sampai sekarang Bangsa Mandailing sudah per nah hidup dalam kemahrifahan menjadi Bangsa yang besar dikenal sampai ke daratan India , Timur Tengah , Afrika terus ke Eropah sana karena kekayaan alamnya.

Mengapa Orang Mandailing hanya disebut sbg puak Mandailing saja ?

Batak na maninggoring ( kepanasan , kekurangan air ) apa ia Mandailing pernah kekeringan ?

Tentu sangat di pahami ada udang di balik peyek !

Keserakahan dan kerakusan serta pemaksaan kehendak yang sangat berlebihan ....

Untuk menguasai Mandailing harus di buat satu startegi yang canggih agar dapat di kuasai .... setelah ada wilayah atau etnis yang sudah mampu dikuasai penjajah sepenuhnya walau ia sangat kecil harus dibesarkan , truktur garis keturunannya di benahi , doktrinisasi , manusianya diberikan kemudahan untuk mendapatkan ilmu , namanya dibesarkan , walau sampai hari ini masyarakatnya masih suka menyelipka tembakau atau sirih disela bibirnya....

Istilah sekarang di mark up kali ya ...namanya... ,

Bangsa yang besar di gembosi sehingga dia mengecil sekecil-kecilnya kalau perlu harus punah dari tanah nenek moyangnya...
Tapi sayang seribu kali sayang , sejago-jagonya orang menghapus jejak orang lain maka ia sangat mudah lupa dengan jejak kakinya sendiri. Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar Sangat jelas menceritakan bahwa etnis yang sangat loyal kepada penjajah tersebut adalah mempunyai nenek moyang orang Mandailing

Tonggo-Tonggo Si Boru Deak parujar
(Batara Sangti 1977 : 278).

Ayo bunyikan gendang dari Nenek moyang kita, Tuan Kumarakumari, Si Kumara perempuan, yang memiliki-aji tambah bersahaja , yang memiliki aji ramu-aramuan , suami dari Nenek moyang Kita Sibaso Nabolon, yang bergantung pada tali siubar, yang hinggap di mombang boru.

Dari tanah lembah , tanah kelabu sejati, dari tanah bakil Mandailing , tanah yang termasyhur , bagaikan suara yang merdu , perpisahan daripada tanah , yang merupakan muara sungai : Dari situlah tangga jalan ke atas (asal usul kita ) , yang melahirkan nenek moyang Kita : Debata Nan Tiga , Nan Tiga Segi , Nan Empat Kerajaan , ke Benua tengah ini.

Di situlah bertamasya Nenek moyang kita Si Boru Deak Parujar , yang memiliki kecerdikan dan banyak akal :
1. Yang mengamanatkan : “ Tidak boleh melanggar sumpah, tidak boleh mengingkari ikrar”
2. Asal mula : “ Kepercayaan “
3. Asal mula : “Sahala “
4. Asal mula : “'Kerajaan “
5. Asal mula : “Alat ukur Gantang, yang jujur”
6. Asal mula : “Batu-asahan satu seikat”
7. Asal mula : “Bajak bagai pembelah tali”'
8. Dari situlah asal mula : “Penentu mahar bagi anak perempuan yang akan dinikahkan”.
9. Asal mula : “ Nama seseorang yang tak sanggup disebut”
10. Hal ini telah dinukilkan : Kepada kudayang banya ditelingany kuda , dewata”

Dan seterusnya.... Mengapa Orang Mandailing di sebut sebagai salah satu dari puaknya sedangkan Mandailing itu asal usul dari nenek moyang nya.

Di dalam Mark Up tersebut masih ada yang terlupakan untuk di modifikasi.... yaitu seperti kesempurnaan bahasa untuk menjadi syarat bangsa yang pernah besar , geografis yang mendukung agar pernyataan sebagai bapak moyang dari satu bangsa agar terjawab dengan benar ,tulisan atau aksara yang sempurna dari yang lain agar ia jelas yang paling segalanya , budi pekerti yang luhur yang merupakan lambang tinggi rendahnya budaya atau peradaban suatu bangsa .

Mengapa nggak di rombak sekalian kalau memang mau mengimbangi Bangsa Mandailing...?

Penggembosan marga-marga yang tadinya adalah marga Bangsa Mandailing

1. Nasution
2. Lubis
3. Pulungan
4. Rangkuti
5. Batubara
6. Matondang
7. Mardia
8. Hasibuan
9. Dasopang
10. Parinduri
11. Daulae
12. Batu na bolon
13. Rambe
14. Mangintir
15. Munte
16. Panggabean
17. Tangga Ambeng
18. Margara
19. Babiat
20. Baumi
21. Dongoran
22. Harahap
23. Huta Suhut
24. Pane
25. Pasaribu
26. Payung
27. Ritonga
28. Tanjung
29. Siregar
30. Dalimunte
31. dan seterusnya....

Yang ahirnya marga – marga orang Mandailing tersebut yang diakui sang penjajah hanya tersisa sebilan marga saja yaitu :

1. Nasution
2. Lubis
3. Pulungan
4. Batubara
5. Rangkuti
6. Daulae
7. Dalimunte
8. Matondang
9. Parinduri

Tentu tujuannya sangat jelas ....?

Ada yang bilang , agar mudah untuk dikuasai karena sudak terpecah belah juga ada yang mengatakan dengan mengecilkan sang etnik pembangkang yang menjadi muslim supaya mudah di keristenkan dan sebagian lagi menyatakan supaya etnis yang keloyalannya kepada penjajah sudah tidak diragukan lagi supaya membengkak dan besar sebagai ... terserah lah....

Semua itu kembali kepada si pembaca. ...
Mengingat batas wilayah kekuasaan Mandailing zaman dahulu adalah, Barus , Kota Pinang , Simpang Kawat , Ranjo batu , Pasaman.

Barangkali yang menjadi bukti yang tersisa apabila kita memperhatikan pelaksannan adat istiadat pada setiap daerah , kata si Ompung dulu...untuk menguji kesetiaan daerah yang menjadi wilayah Mandailing kecuali Mandailing Godang/Julu, Sang Raja bertitah : “ Dalam pemotongan Longit atau hewan yang akan digunakan untuk persta adat harus di kasi alas berupa dau-daunan agar darah tsb tidak langsung tertumpah di atas tanah kekuasaan “. Pada zaman dahulu ini sangat di patuhi , malah telah menjadi persyaratan adat , semoga masih di temukan....

Kesenian.....!

Diciptakan Kesenian baru.... seperti Tilhang... dengan lagunya ....Ooo da jamila , da jamila ( Nama Muslimah) da bintang film India boru ni Pandeta , Parmaen ni kuria , Na so adong do dio ila , Oo da ......

Keceplosannya sang pangarang lagu yang menciptakan lagu :
Sian Mandailing Godang do....
Asal mula nisitogol da bo ....
Margambira bope marsak ho.....
Marsitogol... sitogol.....

Kasian kali bangsa ku itu...!

Sejak dikuasai sang Penjajah sampai puncaknya yang sangat tragis dan sadis yaitu tahun 1871 M. Ditetepkan pajak yang mencekek leher , Dando atau denda untuk inlander , khususnya di Mandailing .

Horbo mate = 4 ria ,
Horbo mangolu = 6 ria ,
telpa = 14 ria ,
Halak Undangan = 20 ria ,
Halak parampuan = 25 ria ,
Halak bujing = 30 ria .

Pada saat itu kurs nya 1 ria = F 0,60 cen . Ria sepertinya mata uang Mandailing – data ini ditemukan di catatan si Ompung dengan judul UHUM

Kekejaman ini juga turut membuat Sutan Naposo cucu dari Tuanku Kali Sutan Panyabungan terpaksa menyeberang ke negeri orang untuk tetap berjuang mencari biaya untuk perang selanjutnya dengan meninggalkan warisan orang tuanya yang kebetulan secara turun - temurun menjadi penguasa yang pro bangsanya sendiri dan kekuasaan itu pun berhasil di caplok antek-antek penjajah yang tidak punya muka dan harga diri.
Achirnya beliau pun tetap harus bertarung di negeri Jiran sana , beliau sempat pulang ke Mandailing pada tahun 1922 untuk menebus saudaranya dari perbudakan dengan membayar sebesar F 80 per kepala dan dilaksanakan , demikianlah umur , tiada yang tau ahirnya , ternyata beliaupun sekalian wafat di kampung halamannya sendiri.

Tuanku Kali Sutan Panyabuangan adalah murit Tuanku Imam Bonjol yang selalu berhasil menghindar dari perburuan antek – antek penjajah , beliau Lahir , tgl 15 Januari 1740 M. Sebagai penguasa yang sah atas tana ulayat Panyabungan julu juga sebagai ulama dan pejuang yang tidak pernah menyerah , walau Istananya berulang kali di bakar musuh , beliau tetap berjuang dan hanya usialah yang mengalahkan beliau hingga wafat pada tahun 1849 M.
Sampai hari ini Beliau masih tetap di kenang , paling tidak anak keturunannya.

Barangkali masih banya bukti pengerusakan yang lain agar orang Mandailing mengakui diri mereka adalah bagian dari etnis bengkak yang sangat loyal terhadap penjajah...yang sangat serius untuk memusnahkan Bangsa Mandailing serta mengkristenkan wilayah Mandailing .

Mohon di koreksi atas kesalahan... !

Bangsa Mandailing, Tidak Melayu dan Bukan Batak Oleh Abdur-Razzaq Lubis


Bangsa Mandailing diBatakkan Belanda
Nama Mandailing sudah diketahui sejak abad ke 14 lagi, dan ini menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi. Nama Mandailing tersebut dalam kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M. Batak tidak disebut sekalipun dalam kitab tersebut.
Nama Batak itu sendiri tidak diketahui dengan pasti asal-usulnya. Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil 'orang asli', Sakai dan Jakun. Tapi orang pedalaman sendiri tidak membahasakan diri mereka, Batak. Kemudian panggilan ini dipetik oleh pengembara seperti Marco Polo, Ibnu Batutah, dan diambil oleh Portugis dan orang-orang dari atas angin dan bawah angin, hinggalah ke ini hari.
Bila Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, sekaligus mereka juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Persepsi Belanda terhadap orang-orang pedalaman termasuk terhadap bangsa/umat Mandailing dipengaruhi oleh persepsi kesultanan-kesultanan Melayu dan Minang, dan orang-orang pesisir, yang mereka dului berinteraski.
Lama-kelamaan memBatakkan bangsa/umat Mandailing membudaya dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administratif Belanda hinggakan sesetengah orang Mandailing sendiri mulai melihat diri mereka dari persepsi penjajah yang melihat dari kacamata Melayu. Bangsa/umat Mandailing dikatogerikan bersama-sama dengan bangsa Toba, Pak-pak, Diari, Simalungun dan Karo untuk tujuan administratif umum di samping menjadi sasaran zending/Kristenisasi.
Pandangan berikut dari sarjana-sarjana Barat seperti Lance Castles adalah tipikal. "The use of 'Batak' as a common label for these groups (Toba, Mandailing dan Simalungun) as well as the Karo and Dairi has a chequered career. Linguists and ethnologists have always found the term necessary because of the strong common elements in all these societies. At some periods, however, those who were converted to Islam, especially Mandailings, have sought to repudiate any association with the non-Muslim Tobas by rejecting the Batak label altogether. This tendency has been strongest among Mandailing migrants to the East Coast of Sumatra and Peninsular Malaysia."
(Pengunaan istilah 'Batak' sebagai label yang umum untuk kelompok-kelompok ini (Toba, Mandailing dan Simalungun) sebagaimana juga dengan Karo dan Dairi mempunyai sejarah yang berpetak-petak. Ahli-ahli bahasa dan etnologi senantiasa mendapati bahwa istilah ini merupakan istilah yang diperlukan dikarenakan adanya elemen umum yang kuat di dalam tiap-tiap kelompok ini. Pada periode tertentu, mereka yang kemudian memeluk Islam, terutama orang Mandailing telah berusaha untuk tidak dihubungkan sama sekali - hubungan dengan non-Muslim Toba dengan menolak label Batak secara keseluruhan. Kecenderungan ini telah terjadi terkuat di antara orang Mandailing perantauan di Pantai Timur Sumatra dan Semenanjung Malaysia.)
Sementara sarjana Barat seperti Susan Rogers Siregar, agak peka dan mengerti sedikit. "Much of the Western literature asserts that there are six major Batak cultures: Toba, Karo, Dairi-Pakpak, Simalungun, Angkola, and Mandailing. This division into ethnic units is somewhat misleading, however, since villagers often have little use for such general words as 'Angkola' and identitfy themselves in much more local terms as members of a ceremonial league or a group of village clusters. The sixfold ethnic division may reflect relatively new ethnic designations as members of different homeland groups come into contact and competition with each other".
(Kebanyakan literatur Barat menegaskan bahwa ada enam budaya Budaya yang utama: Toba, Karo, Dairi, Pakpak, Simalungun, Angkola dan Mandailing. Pembagian ke dalam beberapa kelompok-kelompok etnik ini, menyesatkan, lantaran penduduk desa umum tidak banyak menggunakan perkataan seperti 'Angkola' dan mengidentifikasikan diri mereka dalam istilah yang lebih lokal sebagai 'anggota dari perhimpunan adat' atau sebuah kelompok perkampungan. Pembagian enam etnik tersebut mencerminkan secara relatif penunjuk-penunjuk etnik baru sebagai bagian dari kelompok-kelompok pribumi yang berbeda yang kebelakangan bertemu dan bersaing satu sama lain.)
Kebelakangan, sarjana-sarjana Indonesia (Indonesianists) dan antropolog terus memakai istilah Batak dengan alasan ianya 'useful' (berguna) dan 'necessary' (perlu). Pada akhirnya, sarjana-sarjana yang kononnya, menyelidik secara neutral dan objektif, sebetulnya bertanggungjawab mencipta identitas Batak dan memperkuat identitas Batak. Malah ciptaan mereka itu, mencorak dan mewarnai garis-garis besar ilmu mereka sendiri. Maka pemisahan Batak-Melayu itu berpanjangan hingga ini hari.
Bangsa Mandailing diMelayukan Inggeris
Kalau penjajah Belanda melabelkan orang Mandailing sebagai Batak, penjajah Inggeris melabelkan orang Mandailing sebagai "foreign Malays" (Melayu dagang). Di satu pihak, orang Mandailing disebut Batak Mandailng, dan di pihak yang lain, disebut Melayu Mandailing.
Penjajah Inggeris memakai stilah 'foreign Malays' untuk merujuk kepada orang Mandailing dengan alasan kemudahan administratif (administrative convinience). Pada mulanya, kategori Mandailing dan Batak terpisah dalam sensus-sensus British Malaya, kemudian kedua kategori tersebut dihapuskan menyebabkan orang Batak maupun orang Mandailing pilih 'masuk Melayu' atau menjadi Melayu dalam pengambilan sensus.
Meskipun berabad-abad orang-orang Batak sudah 'masuk Melayu', pemisahan Batak-Melayu terus kekal. Hinggakan proses meMelayukan orang-orang Batak termasuk bangsa/umat Mandailing yang dikategorikan sebagai sub-Batak itu, berkelanjutan hingga masakini. Apakah muslihat dan strategi penjajah dan sarjana-sarjana Barat mau menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa lain di Sumatra Utara supaya berTuankan Batak? Apakah muslihat dan strategi penjajah dan sarjana-sarjana Barat mau menghapuskan kemajemukan kebangsaan bangsa-bangsa Nusantara yang kedapatan di Semenanjung supaya berTuankan Melayu?
Bermula dengan rekayasa sosial engineering kolonial Belanda dan British, disusuli proses Malayan-isasi (kemudian Malaysian-isasi) dan Indonesianisasi yang berlaku sejak dari abad ke 19 sampai sekarang menerusi pendidikan nasional, polisi kebudayaan nasional dan nasionalisme Melayu dan Indonesia. Ciri-ciri khusus kebangsaan bangsa/umat Mandailing seperti bahasa dan aksara, digugat dan kemudian terhapus sama sekali atas nama asabiah (fanatik perkauman) pembangunan nasional, identitas nasional dan kesatuan nasional.
Rumusan
Pada tahun 1920an, alim ulamak dan pemuka-pemuka Mandailing telah memprotes percobaan orang-orang Batak-Islam termasuk orang Mandailing yang mengaku Batak, untuk dikuburkan di tanah perkuburan Sungai Mati. Alim ulama dan tokoh-tokoh Mandailing berhujah bahwa wakaf tanah perkuburan Sungai Mati hanyalah untuk jenazah-jenazah orang-orang Mandailing saja. Orang-orang Batak khusus Angkola termasuk Mandailing yang mengaku Batak, tidak pantas dikuburkan di perkuburan itu.
Pejuang-pejuang kebangsaan bangsa Mandailing membawa kasus/kes ke mahkamah syariah Sultan Deli dengan keterangan bahwa tanah perkuburan bangsa Mandailing di Sungai Mati, Medan, adalah semata-mata untuk bangsa Mandailing. Mereka yang berbangsa selain Mandailing, tidak boleh dikuburkan di situ. Mahkamah syariah Sultan Deli mendeklarsi bahwa bangsa Mandailing terpisah dan berdiri sendiri dari bangsa Batak. Kemudian bangsa Batak membawa kasus tersebut di mahkamah sibil di Batavia, Jawa. Mahkamah tersebut, mahkamah tertinggi di Hindia Belanda mendeklarasikan bahwa bangsa Mandailing bukan Batak.
Kasus jati diri tersebut dibukukan oleh Mangaradja Ihoetan dalam buku Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing (Pewarta Deli, Medan, 1926). Dalam pengantarnya kepada buku itu, Mangaradja Ihoetan menjelaskan maksud buku itu disusun "...hanjalah kadar djadi peringatan di-belakang hari kepada toeroen-toeroenan bangsa Mandailing itoe, soepaja mereka tahoe bagaimana djerih pajah bapa-bapa serta nenek mojangnya mempertahankan atas berdirinja kebangsaan Mandailing itoe. Dengan djalan begitoe diharap tiadalah kiranja mereka itoe akan sia-siakan lagi kebangsaanja dengan moedah maoe mehapoeskannja dengan djalan memasoekkan diri pada bangsa lain jang tidak melebihkan martabatnja".
"...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu..." (al-Hujurat: 13. ) Jelas ketinggian dan kemulian tercapai dengan takwa bukan dengan memasukkan bangsa Mandailing ke dalam bangsa Batak maupun Melayu demi agenda nasionalisme, asabiah/fanatik kebangsaan dan negara-bangsa yang hakikat/entitinya berlawanan dengan Islam.
Justru kategori-kategori Batak-Mandailing dan Melayu-Mandailing, tidak menepati jati diri bangsa/umat Mandailing, bangsa/umat Mandailing hendaklah menolaknya bulat-bulat sebagai sisa-sisa peninggalan penjajahan fisikal maupun mental. Dan tidak terjebak dalam proses globalisasi yang mencita-citakan penghapusan kebangsaan bangsa-bangsa dan bahasa-bahasa dalam Tata Dunia Baru (New World Order), di mana manusia direncanakan menjadi warga perbankan dunia!